Mar 10, 2005

Silakan Naikan BBM tapi Benahi dulu Korupsi!
(Kontemplasi 10/Maret/2005)

Polemik mengenai pro kontra kenaikan BBM yang terjadi belakangan ini membuatku berpikir untuk mengemukakan pandanganku sendiri tentang isyu tersebut. Pandanganku ini sebenarnya adalah sekumpulan gagasan, pengetahuan dan juga keyakinan yang membentuk kesadaranku tentang hal tersebut. Mungkin tidak tepat dan akurat, tapi inilah pandanganku.

Rasionalisasi Pemerintah
(dalam ilmu psikologi, Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan diri orang cerdas)

Semua orang tahu bahwa kenaikan BBM sebesar 29 % tentulah dalam jangka pendek akan meningkatkan biaya hidup masyarakat berupa dampak inflatoir menurunnya daya beli. Pertanyaannya adalah seberapa besar sebenarnya kemampuan untuk membeli (purchasing power) berkurang? Menurut kajian Dr. Umar Said dkk berkerjasama dengan ITS dan TAMF pada akhir 2001 (dengan metode KUT INDOCEEM) inflasi secara nasional akan meningkat sekitar 0,77 sampaidengan1,3 persen untuk kenaikan BBM sebesar 30% (Hasil yang hampir sama dengan perhitungan BI sebesar 1,4 persen).

Jumlah peningkatan inflasi yang sebesar ini tidaklah serta merta menurunkan kesejahteraan sebagian rakyat karena akan ada dana kompensasi untuk pendidikan, kesehatan, usaha kecil dsb. Bisa jadi malah kesejahteraan meningkat (?) karena pemerintah menjanjikan akan mengalokasikan Rp. 17,8 Trilyun dari Rp. 20,3 Trilyun dana yang didapat dari kebijakan pencabutan subsidi ini. Dana Kompensasi ini diberikan dengan 8 sasaran diantaranya beasiswa pendidikan, pelayanan kesehatan, beras murah, serta pembangunan infrastruktur di desa tertinggal.

Sebagaimana terlihat diatas, efek kenaikan harga sebenarnya tidaklah mengkhawatirkan, apalagi menurut hasil perhitungan komponen pengeluaran untuk BBM bagi rumah tangga tidak lebih dari 2,5% (angka persentase ini akan berkurang dengan semakin meningkatnya pendapatan). Demikian juga dengan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi hanya sekitar negatif 0,026 sampai dengan 0,027 persen.

Sekarang marilah kita lihat bagaimana jika subsidi BBM (meski dalam bentuk opportunity lost) tidak dicabut. Jika kebijakan tidak diambil pemerintah akan terus menerus membayar subsidi /kehilangan kesempatan untuk meraih pendapatan yang mencapai Rp. 200 milyar sehari. Dalam setahun Rp. 63 trilyun lebih (2004) dihabiskan untuk mensubsidi BBM. Akibatnya, tergerusnya anggaran negara untuk pembangunan jangka panjang yang sangat diperlukan. Tidak mungkin bukan sebuah negara lepas dari belenggu terbelakangan tanpa adanya upaya pembangunan yang terencana?

Memang banyak argumen yang mendukung pencabutan subsidi BBM, secara teori ekonomi misalnya kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan (teori Kaldor-Hicks pada kondisi Pareto optimal); tidak tepatnya sasaran subsidi dimana 84% subsidi BBM dinikmati oleh golongan menengah keatas; penyeludupan BBM akibat perbedaan harga; adanya kekhawatiran dengan pemakaian BBM pada tingkat sekarang kita akan menjadi net oil importer country sebelum tahun 2010 nanti (bahkan semenjak tahun 2001 sebesar 20% kebutuhan BBM kita sudah harus diimpor). Semuanya alasan ini logis dan dapat dibenarkan.

Realita Rakyat Jelata

Akan tetapi, dari sisi rakyat kebanyakan kenaikan BBM ini tidak dapat dimengerti, tanpa kenaikan BBM pun mereka telah teramat susah untuk bertahan hidup apalagi untuk berkembang. Tapi pemerintah melihatnya lain, kondisi keterbelakangan masyarakat ini tidak akan mungkin dapat diperbaiki tanpa tersediannya anggaran untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, usaha kecil, raskin dsb. Memang terdapat jurang perbedaan yang besar antara masyarakat yang harus sehari-hari bertahan dengan perut melilit dengan para pejabat yang dengan tenang merencanakan perbaikan masa depan rakyat.

Tentang realita rakyat jelata, aku jadi ingat pengalaman di Komunitas nelayan Teluk Jakarta. Sewaktu itu terjadi musim angin barat, angin barat ini sangat kencang tapi dimusim inilah nelayan bisa panen udang. Di musim ini ikan-ikan juga menjauh ke tengah. Saat itu terjadi kenaikan BBM oleh Pemerintahan Megawati. Nelayan yang menyambung nyawa sehari-hari langsung tidak lagi bisa melaut.

Pertama kali melihat banyak kapal merapat di bantaran kali aku pikir lebih karena faktor badai, tapi ternyata tidak. Alasan mereka semata-mata karena solar makin mahal dan jelas mereka tidak mempersiapkan rencana keuangan untuk mengantisipasi kenaikan tersebut. Dengan margin pendapatan kecil terhadap komponen biaya (bagian terbesar bahan bakar) melaut menjadi tidak lagi ekonomis bagi mereka. Apalagi untuk melaut lebih jauh ke tengah. Jadi kami memutuskan untuk menolak kebijakan kenaikan BBM. Slogannya waktu itu: "Solar naik nelayan tak melaut!"

Demo waktu itu cukup kreatif, mereka merencanakan sendiri dengan membawa peralatan menangkap ikan mereka: jaring, sarung, kupluk, dsb. Demo tersebut mendapat sorotan media massa. Dua hari kemudian Bp. Purnomo Yusgiantoro datang ke Muara Angke dan dengan cerdas ia mengajak mereka berdialog. Ia menjanjikan mendirikan tempat pengisian solar murah di kawasan tersebut khusus untuk nelayan. Janji tersebut memang direalisasikan.

Beberapa hari kemudian memang berdiri tempat pengisian solar, sangat dekat. Tapi tidak ada seorang nelayan pun yang mengisi solar disana. Meski dengan harga lebih murah karena mereka tetap belum punya uang untuk membeli solar. Kenyataan itu membuktikan bahwa seorang menteri yang cerdas pun bisa salah dalam menyalurkan bantuannya, salah dalam menilai kebutuhan masyarakat apalagi dengan aparat birokrasi ditingkat bawah yang kita tahu sendiri kualitasnya.

Akibatnya selama beberapa bulan nelayan tidak dapat melaut karena dampak dari kenaikan solar langsung berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selama beberapa bulan itu, sambil menunggu angin barat berakhir mereka hidup seadanya, makan bersama seadanya, adanya yang pulang kampung untuk menumpang hidup pada keluarganya.

Mungkin itulah sedikit gambaran mengenai dampak jangka pendek kenaikan BBM pada nelayan. Mereka bertahan hidup sehari-hari, tanpa perencanaan terhadap gejolak yang ditimbulkan penguasa. Kenaikan BBM lebih menakutkan dari badai!

Persoalannya menurutku adalah pada horizon waktu dan kesungguhan pemerintah, Dikatakan adanya persoalan horizon waktu adalah apakah dana kompensasi yang diberikan tersebut dapat langsung mencapai sasarannya pada waktu yang tepat dan sasaran yang tepat? Untuk pertanyaan ini aku meragukan kemampuan mesin birokrasi pemerintah. Mereka tidak memiliki sistem pendataan yang memadai dan tidak cukup memiliki pemahaman tentang perilaku konsumsi BBM sebagian besar rakyat. Ditambah lagi dengan sistem birokrasi yang berlapis dan personel yang lamban, masyarakat kalangan bawah paling tidak dalam jangka pendek akan semakin termajinalisasikan oleh kenaikan BBM ini seperti kasus nelayan di atas.

Persoalan kedua adalah mengenai kesungguhan pemerintah, pemerintah tahu akan ada kemungkinan salah sasaran pemberian kompensasi, mereka tahu akan adanya kemungkinan kebocoran dana. akan tetapi, kenapa tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki pendataan dan Birokrasi pemerintahan sebelum kebijakan pencabutan subsidi BBM diambil.

Setelah dipikir-pikir untuk aku kok jadi curiga dengan segala rasionalisasi pencabutan BBM dan dampak positifnya bagi rakyat. Jangan-jangan ini hanyalah sebuah proyek pencarian ladang baru. Dengan anggaran yang semakin cekak para pejabat masih bisa tetap hidup enak. Toh ada 17,8 Trilyun lagi sumber dana baru yang bisa dibagi-bagi. Bisa jadi sikap ini terlalu skeptis, tapi juga terlalu naif jika kita masih berharap dengan semua janji muluk pemerintah?

Tapi paling tidak inilah saat kita berkata: Silakan Naikan BBM tapi benahi dulu korupsi seperti janjimu dulu, jika tidak maka akan kami tolak.

No comments: