Begitu banyak kegaduhan yang
sedang berlangsung selama kurang lebih 1-2 tahun terakhir. Beberapa kegaduhan tersebut
antara lain: Pro kontra pemimpin non islam; Aliran Wahabi; Ahmadiyah, Syiah,
atau islam liberal; Pilihan subsidi atau non subsidi BBM; pilihan impor pangan
atau tidak; dan yang terakhir kegaduhan mengenai isyu LGBT.
Kegaduhan-kegaduhan yang syukurnya
baru terjadi di sosial media saja (meskipun kadang terjadi konflik fisik secara
terbatas). Kenyataan ini menimbulkan
berbagai pertanyaan, yakni: Apakah kegaduhan ini sebuah fenomena yang wajar? Faktor
apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah kegaduhan ini menunjukan bahwa golongan
masyarakat di Indonesia telah menjadi terkotak-kotak dalam masing-masing kubu
yang saling berhadapan?
Saya melihat
kegaduhan yang terjadi sebuah fenomena yang wajar yang disebabkan oleh
peningkatan secara masif dari pengguna internet di Indonesia. Data dari
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), peningkatan jumlah
pengguna internet dari tahun 1999-2015 meningkat dari 1 juta menjadi 139 juta. Sedangkan
tingkat pendidikan penduduk tidak mengalami banyak perubahan, data dari BPS RI
menunjukan komposisi jumlah penduduk yang bersekolah paling tinggi SMP/sederajat
dari tahun 1999-2015 hanya mengalami penurunan dari 79,48 % menjadi 67,36 % atau sebesar 12,12 %. Di samping itu,
perkembangan infrastruktur ICT yang telah menyebar ke seluruh pelosok
menyebabkan beragamnya pengguna internet.
Data
gambaran data di atas dapat dibayangkan bahwa pengguna internet dari latar
belakang sosial ekonomi, demografi dan spasial telah mengalami perubahan yang
sangat signifikan. Apabila pada tahun 1999 yang lalu, seseorang yang
berselancar di Internet hanya berinteraksi dengan orang lain dengan profil Sosial
ekonomi yang relatif sama, yakni kalangan menengah – atas berpendidikan tinggi di
perkotaan, sekarang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia harus berinteraksi
dengan masyarakat yang sangat beragam, kelompok yang memiliki latar belakang
yang sama sekali berbeda dengan dirinya. Suatu kalangan masyarakat yang terbiasa melihat sesuatu dengan paradigma tunggal.
Tentu
saja penetrasi secara masif dari internet khususnya sosial media menciptakan berbagai
hal positif misalnya terbukanya berbagai peluang ekonomi baru, meningkatkan
akses pengetahuan dan informasi dan sebagainya. Namun sebagaimana layaknya perubahan besar,
tentu saja menimbulkan dampak-dampak negatif sebagaimana disebutkan di awal
tulisan ini.
Ada
banyak contoh penggunaaan sosial media yang tidak sehat misalnya: Seseorang yang tidak terbiasa melakukan check
& Recheck informasi menyebarkan sebuah informasi yang tidak jelas
validitasnya yang kemudian menimbulkan kegaduhan. Atau seseorang yang tidak
mengerti ada larangan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan pada golongan
lain, mem-posting kebencian dan
permusuhannya melalui media sosial yang memunculkan kemarahan dari kelompok
lain. Kegaduhan-kegaduhan ini sangat
potensial dalam menimbulkan friksi-friksi di masyarakat kita yang sangat plural
ini.
Membatasi
kebebasan berekspresi memang suatu hal sulit yang mungkin juga menimbulkan
penolakan, tapi ada baiknya pemerintah memikirkan untuk mulai mengadakan
pendidikan menggunakan internet yang sehat dan beretika pada anak-anak usia
sekolah sehingga propaganda yang dilakukan orang-orang yang bertujuan memecah
belah dapat ditangkal dan paling tidak diminimalisir.