Jul 30, 2005

Pendidikan Dasar Gratis sebuah ilusikah?

Sebuah angin segar berhembus kepada rakyat yang tersandar letih seharian memikul begitu banyak beban hidup. Pemerintah telah mencanangkan program pendidikan gratis begitu yang terdengar? berarti tidak akan ada lagi biaya pendaftaran siswa baru (PSB), tidak ada lagi uang daftar ulang dan tidak ada lagi iuran bulanan yang terasa sangat memberatkan keluarga tidak mampu. Berarti tidak ada lagi yang mesti mereka pikirkan untuk pendidikan anaknya, paling tidak selama ia menjalani pendidikan dasar sembilan tahun semua biaya pendidikan telah ditanggung oleh negara.

Katanya, ada dana yang sangat besar sebesar 6,272 Triliun rupiah yang akan diberikan kepada seluruh SD dan SMP di Indonesia. Sungguh sebuah program yang sangat berani dan merakyat sekali, sangat menyentuh. Saking bersemangatnya mengajukan usulan ini, pemerintah dan panitia anggaran DPR RI ternyata lupa berhitung!

Jika di setiap SD biaya operasional per siswa adalah Rp.235.000,- dan untuk SMP sebesar Rp. 324.000,-maka marilah melakukan perkalian dan penjumlahan sederhana seperti yang diajarkan kepada kita di SD dulu. Menurut data dari Departemen Pendidikan Nasional, Murid SD pada tahun ajaran 2002/2003 berjumlah 25,9 juta dan siswa SMP berjumlah 7,4 juta, maka jika dikalkulasikan hasil penjumlahannya adalah sebagai berikut: (25.900.000 X 235.000) + (7.400.000 X 324 .000) = 6.086.500.000.000 + 2.397.600.000.000 = 8.484.100.000.000. Ternyata ada kekurangan 2,212 trilun.

Nah, inipun jika perhitungan biaya operasional pendidikan yang akan ditutupi melalui block grant mencakupi semua biaya untuk menyelenggarakan pendidikan. Akan tetapi, ternyata pemerintah kembali tidak memperhitungkan biaya real untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan. Kesalahan ini mungkin bukan karena kealphaan. Akan tetapi, karena orang-orang pemerintahan kita belum dapat memahami konsep-konsep dalam akuntansi biaya yang lazim diajarkan di tingkat Universitas. Buktinya, biaya-biaya seperti Listrik, telepon, alat tulis, telepon, dan biaya untuk kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler tidak diperhitungkan. Sungguh bukan sebuah kealphaan tapi sebuah kekeliruan.

Berarti akan ada defisit anggaran bagi sekolah, berarti akan adanya usaha untuk mencari tambahan, solusi konvensional atau tidak kreatif yang biasa dipilih adalah menarik pungutan dari orang tua siswa dengan melibatkan Komite Sekolah yang selama ini begitu akur dengan pihak sekolah dalam menyerap dana dari orang tua siswa. Apakah janji pendidikan gratis ini kemudian hanyalah menjadi ilusi saja?

Tapi sebenarnya tidak. Persoalan ini seharusnya tidak usah dikhawatirkan, kebijakan pendidikan gratis masih dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan sebuah syarat: Pemerintah dalam semua tingkatannya mesti serius, peka dan flexible dalam membuat kebijakan yang berpihak pada orang kecil.

Tapi mungkin juga keinginan untuk memiliki birokrasi pemerintahan yang seperti inilah yang merupakan ilusi. Bagaimana tidak. Sampai dimulainya tahun ajaran baru 2005/2006 dimana program pendidikan gratis seharusnya sudah dimulai, Dana Block grant ini belum diturunkan. Alasannya JUKNIS mengenai Standar Pembiayaan Pendidikan baru dapat diselesaikan pada akhir Agustus 2005 ini. Akibatnya, pemerintah mengakui masih kesulitan untuk menghentikan pungutan yang dilakukan sekolah. Simplifikasi permasalahan oleh Mendiknas adalah ' jika pungutan dihentikan sementara anggaran untuk biaya operasional sekolah baru diturunkan akhir Agustus maka sekolah tidak bisa beroperasi, artinya akan banyak sekolah yang tutup '.

Rencana pemerintah untuk mengratiskan biaya pendidikan mulai tahun ajaran 2005/2006 ini praktis telah gagal. Kita telah mendengar banyak berita menyedihkan berkaitan dengan upaya orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, ada seorang ibu dari Petamburan yang menjadi joki 3 in 1 lalu tertangkap, ada banyak keluarga yang terbelit ' uang panas ' dengan bunga 30% per bulan. Mungkin masih banyak lagi cerita lain yang tidak terungkapkan Sungguh kegagalan yang sangat menyesakkan sebenarnya. Entah agenda ' politik minyak ' seperti apa yang akan diusung (?), bagi saya sendiri ini sebuah kebodohan dan ketidakberpihakan pada rakyat kecil. pemerintah terlihat tidak berusaha mencarikan solusi cepat untuk mengatasi masalah ini? Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menutupi biaya operasional sekolah cuma untuk 2 bulan. Jika dihitung besarnya hanya sekitar 707 miliar rupiah saja.

Menurut saya solusinya tidak terlalu sulit. Misalnya, anggaran pendidikan dalam APBD disetiap daerah diprioritaskan untuk menalangi program yang secara prinsip telah disetujui DPR ini. Potensi dana ini cukup besar dengan telah adanya kebijakan untuk menetapkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD tiap daerah, di DKI Jakarta saja ada anggaran untuk program prioritas pendidikan sebesar Rp. 1.059.134.545.786,- dengan program prioritas yang nyaris sama yaitu pengembangan pendidikan dasar.

Ada beberapa pertimbangan dari hal ini. Pertama, untuk menghindari tumpang tindih program dan memungkinkan pemerintah daerah memformulasikan program lain yang bermanfaat dalam menutupi kekurangan program pendidikan gratis dari pemerintah pusat. Kedua, pengawasan dan block grant tahap pertama ini akan lebih efektif jika dilakukan oleh PEMDA. dan Ketiga, untuk menghindari inefisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah (sampai dengan pertengahan tahun 2005 realisasi APBD DKI Jakarta baru 3%).

Tapi entahlah, pendidikan gratis dari pendanaan, menurut saya, sangat mungkin ada, sama sekali bukan ilusi. Malah sebuah birokrasi pemerintahan yang punya keseriusan, kepekaan, fleksiblitas, sedikit kecerdasan dan keberpihakan pada rakyat kecil inilah yang justru merupakan sebuah ilusi.