Dec 3, 2005


Seandainya kita diberikan kebebasan sepenuhnya
Mampukan kebebasan itu melepaskan kita dari takdir
sebagai aktor lelucon semesta?

Jenuh

Pernah berpikir betapa ganjilnya kita diciptakan di dunia ini? Aku selalu memikirkannya, terkadang menganggapnya sebuah lelucon. Tak ada pengetahuan yang lengkap akan awal keberadaan kita dan tak juga ada pengetahuan akan akhir. Bahkan satu-satunya kelebihan 'kita' dibandingkan makhluk lain yakni rasionalitas, tak memiliki kemampuan untuk menemukannya.

Bagi sebagian orang agama adalah pelarian yang sangat nyaman, hal inilah yang coba dijelaskan oleh bounded-rationality theory. Dengan agama kita mengikuti lantunan irama semesta, rasakan misalnya lantunan suara adzan yang mengikuti perputaran bumi atau misa kudus di minggu pagi. Sungguh nyaman hidup dalam keharmonisan seperti itu. Bergerak, bernafas, dan menjalani berbagai hal menuju arah takdir yang dipercayai yakni kematian diri dan kehancuran semesta.

Dalam suasana batin seperti ini seseorang akan teramat kuat mengatasi hidup karena dia tidak memiliki keterikatan dengan segala hal yang fana. Ia menjadi tidak takut miskin, tidak takut lapar, tidak takut kejahatan, tidak takut melawan penindas bahkan tidak takut untuk meledakkan dirinya demi sebuah usaha yang mungkin juga dirasakannya absurd.

Berbicara tentang keterbatasan akal yang melatar belakangi keharmonisan hidup diatas, aku jadi berpikir bahwa apabila kita percaya bahwa kita adalah ciptaan maka kita tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan pencipta kita. Jika kita tidak mampu menjelaskannya lalu bagaimana mungkin di saat yang sama kita dapat mematuhinya (?).

Anggaplah kita merasa dekat dengan- Nya bukan melalui akal akan tetapi dalam pengalaman batin (fenomenologis), sebuah derajat keyakinan tertentu - sebuah dugaan perceptive, lalu bagaimana mungkin pengalaman batin individual kita tersebut menjadi alat yang menjadikan kita menerima sebuah ajaran agama tertentu yang bersifat umum seperti menjalankan ibadah agama dan sebagainya. Kenapa kita tidak menjadikan urusan agama ini menjadi urusan yang sangat rahasia, urusan antara kita dan tuhan sendiri tanpa ada penuntun apalagi perantara. Karena hal ini aku percaya kita bisa bebas dari agama. Bahkan dalam tingkat yang lebih ekstrem karena kita bisa meragukan tuhan kita juga dapat meragukan perlunya segala hal yang baik.

Pertanyaan sekarang jadi sebuah pilihan filosofis: terjun bebas ke jurang yang mana?

Nov 9, 2005

Agaknya sang Jenderal mulai kehabisan energi juga kehilangan akal sehatnya. Keyakinannya terhadap liberalisasi pasar tentu bukanlah hal yang baik bagi kelangsungan kekuasaannya paling tidak dalam jangka pendek ini. Dana kompensasi pencabutan subsidi BBM melalui penerapan model bantuan tunai langsung (merupakan eksperimen pertama di dunia) tentu saja dapat menenangkan golongan terbawah rakyat Indonesia. Tapi ia lupa bahwa perubahan politik di Indonesia terutama diusung oleh kelas menengah. Bertahan atau tidaknya sebuah kekuasaan politik di Indonesia sangat ditentukan oleh sikap golongan ini terhadap sebuah kekuasaan.

Tentu saja masih tersisa sedikit keyakinan terhadap kepemimpinannya, akan tetapi sedikit demi sedikit seiring dengan penerapan agenda liberalisasi pasar diterapkan kepercayaan yang tertinggal akan semakin tergerus. Mungkin sang Jenderal menyadari hal ini maka sebagai seorang jenderal ia menerapkan keahlian utamanya dalam politik pertahanan, bukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan rakyat melainkan untuk mempertahankan kekuasaannya. Kecenderungan ini sudah tampak nyata.

Oct 13, 2005

Aku sering merasakan semua benda disekelilingku hidup, bernafas, dan berbicara. Saat merasakan hal itu aku berada dalam keadaan antara sangat senang sekali dan kebingungan harus menempatkan diri. Kadang aku berada dalam suasana yang sangat serius, terlibat dalam berbagai hal detail dari dunia nyata.

Anehnya, dalam kedua situasi ini aku merasa senang. Kebahagian yang pertama disebabkan karena aku merasakan benar-benar hidup sebagai sebuah pribadi tersendiri, sementara kebahagian kedua disebabkan aku berhasil untuk melupakan tujuan hidup itu sendiri.

Oct 4, 2005

Menjelang Ramadhan...

Ramadhan, setiap bulan itu datang aku selalu agak kesusahan. Jadi kesulitan nyari makan dan yang lebih parah lagi jadi berasa gak enak kalau merokok di keramaian. Kenapa orang harus selalu menghormati orang yang berpuasa? Kenapa tidak berlaku sebaliknya bahwa orang juga mesti menghormati keyakinan orang lain untuk tidak berpuasa?

Aku sudah mulai berpuasa dari kelas 4 SD dan terakhir sampai kelas 2 SMP, bahkan pada saat itu, bokap/nyokap kesulitan membujukku untuk membatalkan puasa. Aku rasa pada saat itu aku memiliki sebuah kepatuhan buta kepada sesuatu yang maha agung yang tak kuketahui. Berada dalam suasana religius itu terkadang menentramkan. Bahwa ada sesuatu entah dimana dia melihat engkau, ciptaannya. Perasaan seperti itulah yang membuat seseorang merasa tidak teralienasi dari kehidupan bahkan berdialog dengannya.

Tidak ada salahnya memang seseorang memilih ekspresi religiusitas seperti itu, maksudku melakukan semacam kepatuhan seperti itu jika dengan hal itu dia merasa tentram. Dan tidak salah juga, bila seseorang memilih ekspresi religiusitas dengan cara lain, seperti melakukan pembangkangan, misalnya dengan tidak berpuasa pada bulan ramadhan.

Banyak orang yang menganggap bahwa aku atheis dsb, dan anehnya aku selalu mengafirmasi apa yang mereka katakan. Aku merasa bahwa memang aku tidak beragama seperti mereka beragama, tidak mempercayai tuhan sebagaimana mereka mempercayainya.

Aku mempercayai tuhanku sendiri, di saat-saat sulit kadang aku masih sering berdialog dengannya mengenai keterbatasanku dan kekuasaan absolutnya. Belum cukup ada sebuah alasan yang baik bagiku untuk berpuasa, sebenarnya sesederhana itulah penjelasan dariku mengapa aku tidak berpuasa.

Tadi malam sehabis merayakan "malam penutupan" di Grand Manhattan kata beberapa teman aku muntah darah (aku sudah terlalu mabuk untuk dapat mengetahuinya sendiri). Sampai tadi aku masih memikirkan hal itu bahkan membicarakannya lama dengan supir taksi dalam perjalanan pulang, aku mulai berpikir untuk berhentik mengisap Gudang Garamku, mengurangi Alkohol, mengurangi keluar malam, mengurangi beer, mengurangi kopi, menjaga kesehatan.

Mungkin "your time is running out" seperti yang dikatakan seorang teman tadi malam merupakan sebuah alasan yang baik bagiku untuk mulai berpuasa. Tapi itu tergantung besok pagi jika aku ternyata bangun dan minum segelas air berarti selama sebulan penuh kedepan akan tidak akan berpuasa.

Sep 28, 2005

Dunia Berantakan...

Dunia Berantakan!!!

Dunia yang Berantakan! Itu yang kurasakan beberapa hari ini tentang keadaan dunia di sekelilingku. bagaimana tidak, Virus AI (H5N1) telah menyebar kemana-mana tapi anehnya pemerintah tidak mengambil tindakan yang berarti. Hanya mengeluarkan himbauan yang bersifat menenangkan dan bahkan sebenarnya bersifat menipu. Kita ditenangkan dengan menyatakan bahwa Virus AI akan sulit menular pada manusia, cukup dengan masak diatas suhu 100 derajat celcius dan sebagainya.

Padahal menurut beberapa pakar virus tersebut sangat cepat melakukan mutasi genetik sehingga sekarang telah mampu menembus barrier antar spesies. Misalnya: Kucing yang memakan ayam yang terjangkiti H5N1 akan dapat menjadi carrier bagi penyebaran virus di samping itu penuluran juga dapat dilakukan melalui udara. Seorang Peneliti dari Guan China yang pertama kali melakukan penelitian terhadap Virus ini sangat mengkhawatirkan terjadinya epidemic Global bahkan ia sangat yakin akan terjadinya hal ini.

Terhadap hal ini, aku sedikit kesal dengan pandangan para pedagang ayam melalui asosiasinya yang menolak pemerintah memasukan serangan wabah ini menjadi KLB karena mengkhawatirkannya dampaknya terhadap usaha mereka. Mungkin di kepala mereka hanya ada perhitungan untung rugi tanpa peduli keselamatan orang lain bahkan mungkin diri mereka sendiri dan keluarganya. Aku telah mulai Boikot makan ayam dan produk turunannya dan mulai kesulitan mencari makanan penggantinya :-(

Kejadian lain yang membuatku cemas adalah kenaikan BBM yang sangat Drastis, menurut beberapa sumber sebesar 75%. Persoalannya adalah karena subsidi untuk BBM tahun ini telah mendekati batas yang ditetapkan sehingga untuk beberapa bulan ke depan sudah tidak ada lagi subsidi bagi pembelian BBM. Kenapa kok anggaran dibuat dengan semudah itu? apa gak ada mekanisme lain sehingga rakyat tidak makin susah? apalagi program-program kompensasi yang sangat populis kelihatannya akan sulit mencapai sasaran. Misalnya subsidi pendidikan, jika diperhatikan dalam prakteknya tidak terlaksana. Penyebabnya adalah sistem birokrasi kita terlalu lamban untuk menutupi celah-celak praktek mencari keuntungan dari pihak sekolah dan guru-guru rakus. Misalnya setelah semua biaya BOS dan BOP (Jakarta) diberikan, ternyata masih ada peluang untuk melakukan pungutan dalam bentuk kegiatan les dan ekstrakurikuler.

Kemudian kebijakan untuk memberikan uang 100 ribu sebulan juga hampir pasti akan gagal karena pendataan untuk keluarga miskin belum selesai dan mengadung sangat banyak persoalan dalam penyalurannya. JPK Gakin dan PPMK (Jakarta) tidak berjalan karena persoalan pendataan keluarga miskin yang lemah sehingga akan sangat rawan terjadinya manipulasi data oleh pejabat yang berwenang dalam proses penyalurannya. Jadi hampir pasti kesejahteraan rakyat kecil akan kembali tergerus dengan kebijakan ini.

Tentang kenaikan BBM sebenarnya aku setuju dengan adanya mekanisme penyesuaian harga. Faisal Basri dalam sebuah diskusi juga sangat menganjurkan kenaikan harga BBM, menurutnya akan ada mekanisme adaptasi dari masyarakat. Akan tetapi, menurutku proses adaptasi ini baru dapat dilaksanakan dengan perlahan. Oleh karenanya, kenaikan BBM pun harusnya juga dilaksanakan secara bertahap serta dilakukan dengan penjadwalan yang jelas, misalnya kenaikan setiap 3 bulanan atau setiap bulan seperti pada masa pemerintahan Megawati. Dengan demikian, dunia usaha dan rakyat kecil dapat bernapas dan beradaptasi.

Kejadian menurunnya nilai tukar rupiah juga mengkhawatirkan, cobalah cek di situs BI kenapa kok laporan cadangan Devisa kita sejak bulan Juli tidak lagi diumumkan setiap bulan kepada publik seperti biasanya???

Hal ini membuktikan bahwa penyelenggaraan negara kita berantakan dan itu semua menjadikan dunia kita juga berantakan...

Sep 19, 2005

Refleksi dan mimpi

Ketakutan untuk menjadi Zombie? itulah yang membebani pikiranku sejak tadi pagi. Zombie dalam artian sesuatu yang bertindak dan berpikir bukan untuk dirinya sendiri. Secara praktis paling tidak dari jam 9 sampai jam 5 sore kita telah benar-benar kehilangan kontrol terhadap diri kita. dengan kata lain kita telah menjual diri kita. Tapi sebenarnya lebih dari jam-jam itu kita telah menjual seluruh hidup kita bukan?...

Jul 30, 2005

Pendidikan Dasar Gratis sebuah ilusikah?

Sebuah angin segar berhembus kepada rakyat yang tersandar letih seharian memikul begitu banyak beban hidup. Pemerintah telah mencanangkan program pendidikan gratis begitu yang terdengar? berarti tidak akan ada lagi biaya pendaftaran siswa baru (PSB), tidak ada lagi uang daftar ulang dan tidak ada lagi iuran bulanan yang terasa sangat memberatkan keluarga tidak mampu. Berarti tidak ada lagi yang mesti mereka pikirkan untuk pendidikan anaknya, paling tidak selama ia menjalani pendidikan dasar sembilan tahun semua biaya pendidikan telah ditanggung oleh negara.

Katanya, ada dana yang sangat besar sebesar 6,272 Triliun rupiah yang akan diberikan kepada seluruh SD dan SMP di Indonesia. Sungguh sebuah program yang sangat berani dan merakyat sekali, sangat menyentuh. Saking bersemangatnya mengajukan usulan ini, pemerintah dan panitia anggaran DPR RI ternyata lupa berhitung!

Jika di setiap SD biaya operasional per siswa adalah Rp.235.000,- dan untuk SMP sebesar Rp. 324.000,-maka marilah melakukan perkalian dan penjumlahan sederhana seperti yang diajarkan kepada kita di SD dulu. Menurut data dari Departemen Pendidikan Nasional, Murid SD pada tahun ajaran 2002/2003 berjumlah 25,9 juta dan siswa SMP berjumlah 7,4 juta, maka jika dikalkulasikan hasil penjumlahannya adalah sebagai berikut: (25.900.000 X 235.000) + (7.400.000 X 324 .000) = 6.086.500.000.000 + 2.397.600.000.000 = 8.484.100.000.000. Ternyata ada kekurangan 2,212 trilun.

Nah, inipun jika perhitungan biaya operasional pendidikan yang akan ditutupi melalui block grant mencakupi semua biaya untuk menyelenggarakan pendidikan. Akan tetapi, ternyata pemerintah kembali tidak memperhitungkan biaya real untuk menyelenggarakan sebuah pendidikan. Kesalahan ini mungkin bukan karena kealphaan. Akan tetapi, karena orang-orang pemerintahan kita belum dapat memahami konsep-konsep dalam akuntansi biaya yang lazim diajarkan di tingkat Universitas. Buktinya, biaya-biaya seperti Listrik, telepon, alat tulis, telepon, dan biaya untuk kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler tidak diperhitungkan. Sungguh bukan sebuah kealphaan tapi sebuah kekeliruan.

Berarti akan ada defisit anggaran bagi sekolah, berarti akan adanya usaha untuk mencari tambahan, solusi konvensional atau tidak kreatif yang biasa dipilih adalah menarik pungutan dari orang tua siswa dengan melibatkan Komite Sekolah yang selama ini begitu akur dengan pihak sekolah dalam menyerap dana dari orang tua siswa. Apakah janji pendidikan gratis ini kemudian hanyalah menjadi ilusi saja?

Tapi sebenarnya tidak. Persoalan ini seharusnya tidak usah dikhawatirkan, kebijakan pendidikan gratis masih dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan sebuah syarat: Pemerintah dalam semua tingkatannya mesti serius, peka dan flexible dalam membuat kebijakan yang berpihak pada orang kecil.

Tapi mungkin juga keinginan untuk memiliki birokrasi pemerintahan yang seperti inilah yang merupakan ilusi. Bagaimana tidak. Sampai dimulainya tahun ajaran baru 2005/2006 dimana program pendidikan gratis seharusnya sudah dimulai, Dana Block grant ini belum diturunkan. Alasannya JUKNIS mengenai Standar Pembiayaan Pendidikan baru dapat diselesaikan pada akhir Agustus 2005 ini. Akibatnya, pemerintah mengakui masih kesulitan untuk menghentikan pungutan yang dilakukan sekolah. Simplifikasi permasalahan oleh Mendiknas adalah ' jika pungutan dihentikan sementara anggaran untuk biaya operasional sekolah baru diturunkan akhir Agustus maka sekolah tidak bisa beroperasi, artinya akan banyak sekolah yang tutup '.

Rencana pemerintah untuk mengratiskan biaya pendidikan mulai tahun ajaran 2005/2006 ini praktis telah gagal. Kita telah mendengar banyak berita menyedihkan berkaitan dengan upaya orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, ada seorang ibu dari Petamburan yang menjadi joki 3 in 1 lalu tertangkap, ada banyak keluarga yang terbelit ' uang panas ' dengan bunga 30% per bulan. Mungkin masih banyak lagi cerita lain yang tidak terungkapkan Sungguh kegagalan yang sangat menyesakkan sebenarnya. Entah agenda ' politik minyak ' seperti apa yang akan diusung (?), bagi saya sendiri ini sebuah kebodohan dan ketidakberpihakan pada rakyat kecil. pemerintah terlihat tidak berusaha mencarikan solusi cepat untuk mengatasi masalah ini? Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menutupi biaya operasional sekolah cuma untuk 2 bulan. Jika dihitung besarnya hanya sekitar 707 miliar rupiah saja.

Menurut saya solusinya tidak terlalu sulit. Misalnya, anggaran pendidikan dalam APBD disetiap daerah diprioritaskan untuk menalangi program yang secara prinsip telah disetujui DPR ini. Potensi dana ini cukup besar dengan telah adanya kebijakan untuk menetapkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD tiap daerah, di DKI Jakarta saja ada anggaran untuk program prioritas pendidikan sebesar Rp. 1.059.134.545.786,- dengan program prioritas yang nyaris sama yaitu pengembangan pendidikan dasar.

Ada beberapa pertimbangan dari hal ini. Pertama, untuk menghindari tumpang tindih program dan memungkinkan pemerintah daerah memformulasikan program lain yang bermanfaat dalam menutupi kekurangan program pendidikan gratis dari pemerintah pusat. Kedua, pengawasan dan block grant tahap pertama ini akan lebih efektif jika dilakukan oleh PEMDA. dan Ketiga, untuk menghindari inefisiensi dalam pengelolaan anggaran daerah (sampai dengan pertengahan tahun 2005 realisasi APBD DKI Jakarta baru 3%).

Tapi entahlah, pendidikan gratis dari pendanaan, menurut saya, sangat mungkin ada, sama sekali bukan ilusi. Malah sebuah birokrasi pemerintahan yang punya keseriusan, kepekaan, fleksiblitas, sedikit kecerdasan dan keberpihakan pada rakyat kecil inilah yang justru merupakan sebuah ilusi.

May 4, 2005

Ketakutan akan Relativisme?

Sungguh menarik membaca catatan pinggir Tempo 1 Mei, dalam kolumnya itu, GM menulis tentang ketakutan yang menyelimuti Vatikan setelah mangkatnya Sri Paus Yohanes Paulus II. Benecditus XVI,Paus yang baru, paling tidak mengirimkan sinyal ini dalam peringatannya: "Kita bergerak ke arah kediktatoran relativisme". Sebuah kecemasan akan tidak adanya suatu ukuran yang pasti yang menilai baik buruk sebuah perbuatan. Mungkin sebuah kecemasan bagi hilangnya legitimasi dari otoritas kebenaran, menurut cara pandang sinis.

Tapi marilah tidak bersifat sinis, relativisme paling tidak menerbitkan kecemasan juga pada hati yang bertanya. Bagaimanapun, hidup tanpa prinsip adalah peristiwa sehari-hari kita. Penyuapan dengan istilah dana taktis, uang damai saat ditilang, Mark up proyek, Make up laporan keuangan, bersenggama tanpa menikah, menyontek atau perbuatan apapun itu yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran prinsip yang kita terima. Kita jadi biasa meletakan segala penilaian dengan ukuran baik buruknya bagi diri kita sendiri. Toh, ini hidupku sendiri akulah yang punya otoritas satu-satunya untuk menentukan jalan hidup mana yang aku tempuh. Beginilah kita biasanya menjustifikasi segala perbuatan kita

Hidup jadi layaknya seperti sebuah jalanan panjang dengan banyak persimpangan. Tugas kita seringkali hanyalah memilih. Kemanapun arah yang akan tuju nanti kita tak tahu atau paling tidak tak mau tahu. Satu yang kita tahu adalah tak ada seorangpun yang tahu kemana jalan itu akan membawa kita. Tidak adanya pengetahuan akan tujuan akhir tidaklah dapat jadi alasan bagi kita untuk tidak melangkah bukan. "Hidup, ya jalani saja!" inilah nasehat yang paling sering kita dapat saat bercerita dengan seorang teman saat kita menghadapi problem moral yang sulit. Kita seperti orang gilanya Nietzche yang memberitakan kematian tuhan, dengan membawa obor, melangkah dalam kegelapan.

Tapi benarkah kita bisa sepenuhnya bebas? berpegang pada kebenaran kita sendiri? tentu saja ini sebuah pertanyaan filsafat lama yang kedengaran tolol. Toh prinsip umumkan terbangun dari akibat semakin tingginya intensitas interaksi sesama manusia sehingga manusia butuh adanya keadilan, kebebasan berusaha, kebebasan berpendapat dan sebagainya. Tentu dalam interaksi dengan sesama manusia lain dalam hubungan yang bersifat sosial, prinsip-prinsip umum haruslah ditegakkan. Bagiku pribadi tak ada relativisme hal untuk itu.

Akan tetapi, untuk hal yang bersifat personal dan pribadi katakanlah untuk kebebasan beragama, kebebasan bercinta, menuangkan gagasan pribadi dan segala hal yang kita tanggung akibatnya secara pribadi, aku beranggapan tidak ada prinsip umum yang harus dibangun untuk hal ini. Sebagai manusia pribadi kita relatif dengan segala keterbatasan kita. Hanya perlu meningkatkan pemahaman akan peran kita dalam dimensi sosialnya agar tahu apa yang benar apa yang tidak bagi sesama

Lalu apakah kecemasan tentang dominasi relativisme ini jadi beralasan?

May 3, 2005

Mayday...


Mayday tahun ini lewat begitu saja. Sebenarnya aku juga lupa. Diingatkan seorang kawan lewat SMS itupun sudah lewat tengah malam. Apa yang aku tahu tentang gerakan buruh sekarang? hampir tidak ada. Tak ada kontak dengan kawan-kawan buruh. Pernah memang mendengar ada pembentukan sebuah serikat di Bogor, sebuah format serikat buruh yang dulu sempat diancangkan bersama. Dimana bukan hanya buruh bergabung dalam satu pabrik tapi juga dalam satu kawasan industri tertentu. Tapi entah bagaimana perkembangannya. Sama sekali tak ada kabar.


Mungkin aku hanya dapat berkontemplasi tentang keadaan yang terjadi terutama di sektor industri garment (aku yakin belum berubah banyak), dimana aku pernah, paling tidak ada disana. Menjadi saksi sebuah perlawanan.


Seperti setiap zaman, seperti juga Pavel Vlassof dalam Novelnya Gorky, mungkin telah lahir beberapa buruh di daerah-daerah kantong industri yang sedikit punya keinginan melawan terhadap kesewenang-wenangan yang disadarinya dari para pengusaha. Ia mungkin akan berbicara dengan beberapa orang dekatnya, mengajak mereka melakukan sesuatu bagi perbaikan nasib bersama. Paling tidak pemenuhan hak-hak normatif mereka. Segala hak yang telah dijamin UU yang tak pernah mereka dapatkan. Seperti pemenuhan upah minimum, cuti haid dan jemputan bagi karyawan perempuan dsb.

Orang yang akan diajaknya berbicara akan dengan mengebu-gebu mengungkapkan kemarahan mereka, mengingat pengalaman mereka dari pabrik ke pabrik. Sebuah pengalaman dalam warna yang sama. Ketertindasan lama.


Akan tetapi, kemudian mereka akan terhenti karena tak tahu bagaimana harus melawan, bagaimana harus mengorganisir kekuatan dan mengumpulkan orang-orang. Ia akan berpikir adalah mustahil terjadi perbaikan nasib buruh. Kaumnya yang merana. Ingatannya akan melayang pada hasil dari setiap perjuangan yang diketahuinya. PHK, keluarga yang lalu kemudian menderita atau kembali ke desa entah sebagai apa? karena tanah keluarga sudah tak ada.


Barangkali ia seorang yang berani mengambil resiko. Makanya pada suatu siang ia akan menghadap atasannya dan mengajukan tuntutannya sendiri. Selanjutnya dihari-hari berikut ia akan dimutasi kebagian lain yang memang bukan keahliannya. melakukan beberapa kesalahan, gagal mencapai target produktifitas. Lusa kemudian personalia akan memanggilnya dan meminta pengunduran dirinya. seminggu kemudian ia akan meninggalkan pabrik.


Sekali lagi menjadi contoh bagi buruh lain bahwa sama sekali tidak ada kuasa dari para pekerja. Tidak ada daya. Itulah Gambaran sebuah perjuangan tanpa organisasi. Sebuah kesia-sian saja.

*


Barangkali ada sedikit kaum buruh yang beruntung, keakraban satu sama lain diantara mereka yang terbina lama telah membentuk sebuah solidaritas pribadi. Saat seorang kawan yang dikenal baik diperlakukan dengan sewena-wena mereka akan membelanya. Pada suatu pagi bersama-sama, mereka akan menghalangi jalan masuk ke pabrik, secara mendadak dan spontan memberikan resistensi terhadap pengusaha. Pengusaha memberikan ultimatum, esoknya beberapa buruh akan masuk lagi ke pabrik.


Sebagian kecil yang masih solider bertahan diluar pagar pabrik. Karena tak berdampak pada produksi, perusahaan mengacuhkan resistensi mereka. Mereka dibiarkan tanpa kejelasan, perusahaan menunggu sampai batas waktu mereka dinyatakan mangkir dan dikeluarkan tanpa pesangon.


Kasus diatas sebuah jenis resistensi yang sangat mudah dipatahkan, ada kasus lain dimana mereka telah membangun seperangkat panitia aksi yang akan solid (seringkali berupa ‘serikat buruh’) yang mengadakan pertemuan, membicarakan taktik perlawanan, memilih waktu yang tepat. Dalam banyak kasus saat perusahaan dibatasi oleh delivery time dari buyer, buruh yang bernegosasi akan dimenangkan. Sesaat situasi pabrik menjadi tempat yang harmonis dan sederajat. Serikat buruh terlibat dalam banyak kebijakan, kehidupan pabrik tersebut lebih baik dari pabrik yang lain yang ada disekitarnya.


Tapi ada semacam persoalan yang ditinggalkan dari keadaan seperti itu sebenarnya. pabrik tersebut jadi tidak kompetitif dimata para buyer yang memberikan orderan. Jika pabrik disebelah mampu mengerjakan dengan biaya yang lebih murah kenapa mesti memberikan pada pabrik dengan biaya tinggi? dalam beberapa bulan kemudian order jadi sepi dan perusahaan ditutup. Sebuah hasil perjuangan gemilang yang juga sia-sia. ternyata.

**


Kasus diatas hanya segelitir dari banyak jenis kasus yang terjadi, tapi paling tidak diperlukan sebuah perubahan paradigma yang diperlukan dalam perjuangan keserikat buruhan di dunia, atau paling tidak Indonesia. Perjuangan keserikatburuhan haruslah mampu melihat keterbatasan dari watak perjuangan tradeunionism. serikat buruh yang kuat saja tidaklah mencukupi.

Ada faktor lain yang penting yang harus diperhatikan yaitu faktor ekonomis dari produksi. Melihat kaum buruh sebagai sebuah komponen dari produksi yang vital, melihat diri sebagai sebuah angka bagi cost dan productivity yang dalam global economic adalah bersifat universal.

Implikasinya, buruh tidaklah dapat hanya mengidentikkan dirinya sebagai seorang buruh dari perusahaan X atau Y, yang hanya menimbulkan biaya dan meningkatkan produktifitas bagi PT X atau Y. Tapi melihat dirinya sebagai sebuah bagian dari komoditas dan barang yang berada dipasar, melihat bahwa dalam sebuah pasar persaingannya bebas dirinya adalah bagian dari produk yang saling bersaing tersebut. Karena sifat saling bersaing dalam pasar barang (demikian juga dalam pasar faktor produksi tenaga kerja) maka solidaritas mustahil dapat dibangun tanpa pemahaman yang benar akan watak dari sistem produksi kapitalisme. Tanpa pengetahuan tentang posisi mereka dalam sistem produksi ini.

Solidaritas buruh yang terbangun sama sekali bukan dengan parade-parade MAYDAY akan tetapi dalam pemahaman bersama posisi kelas dalam ekonomi dan praktek perjuangan kelas bersama sehari-hari. Mulailah dari satu kawasan menetapkan harga buruh dikawasan ini harus sekian, kesejahteraan minimal seperti ini harus terpenuhi.

Jika mengetahui bahwa ada kawan buruh dipabrik lain dibayar lebih murah maka harus dianggap sebagai ancaman bagi kesejahteraan bersama paling tidak di kawasan tersebut. Mulailah sama-sama solider, berjuang bukan untuk kepentingan yang muluk dan luhur akan tetapi untuk diri sendiri juga. Solidaritas kaum buruh terbangun bukan atas perasaan emosional semata tapi atas asas yang rasional terhadap pemahaman dari sistem produksi.




Apr 19, 2005



Tadi malam, ada seorang maling ditangkap basah
dipukulin, disorakin, dipermalukan... (untung tidak dibakar)
Karena mencuri hp temannya sendiri, katanya untuk bayar tunggakan
telepon yang hampir 2,5 juta


Tadi malam, hukum masyarakat ditegakkan
bahwa milik pribadi itu
harus dihargai tinggi:
Jauh lebih tinggi dari harga diri


Tadi Pagi, di kantor polisi
maling itu dibebaskan
karena semua masalah dapat
diselesaikan...
entah dengan apa

Apr 10, 2005

Hymne an Gott (Hymne kepada tuhan)
Oleh: Bertolt Brecht
Terjemahan Agus R. Sarjono


1
Nun Jauh di gelap lembah, orang-orang lapar sekarat.
Kau perlihatkan roti kepadanya, tapi kau biarkan mereka mati.
Sedang kau bertahta Abadi


2
Kau biarkan mati yang muda, juga mereka yang sedang bahagia
Tapi kau halangi mereka yang memilih mati...
Banyak mereka yang telah membusuk
Percaya kepadamu dan mati penuh harapan.


3
Kaum miskin kau biarkan jadi miskin masa demi masa.
Karena kerinduan mereka lebih elok dari surgamu
Bila mereka mati, sayang sekali, sebelum cahayamu tiba
Mereka toh mati bahagia - dan busuk seketika.


4
Banyak yang bilang kau tak ada. Dan lebih baik demikian.
Tapi bagaimana bisa yang demikian menipu bisa tidak ada?
Sedang begitu banyak manusia butuh kau
Dan tak mampu mati dengan cara berbeda.
Atas itu semua jelaskan padaku, lantas kenapa kalau kau tak ada?




(Untuk Tuhan yang kutinggalkan lama)
Asumsi 1: Jika tuhan tak ada maka tak ada alasan moral bagi keadilan
Asumsi 2: Jika tak ada alasan rasional bagi perubahan maka jika dibutuhkan jadikan rasional

"Apa yang tak asing, harus dianggap asing!
Apa yang biasa, harus dianggap tak bisa diterangkan!
Apa yang biasa harus kalian pertanyakan!
Apa yang aturannya, Harus Dianggap Penyelewengan!"
(Bertolt Brecht)

Selama berada di Depok beberapa hari ini selalu tidak bisa tidur kurang dari jam 4 pagi. Malam-malam penuh obrolan yang sama sekali 'gak berujung pangkal. Dimulai dari asumsi yang meragukan dan berujung pada kesimpulan yang juga meragukan. Empirisme Hume selalu mengganjal kita untuk bisa menyakini sesuatu bukan? Bagaimana kamu dapat membuktikan? itulah pertanyaannya. Dan bagaimana kita dapat membuktikan sesuatu jika kehidupan itu selalu dalam proses menjadi?

Bagaimana kita tahu misalnya bahwa keadilan itu memang diperlukan? Dalam jangka panjang mungkin saja keadilan akan menjadikan kita menjadi spesies yang lemah (?) karena manusia menjadi terbiasa berpikir ada orang yang peduli dan berkepentingan dengan keadilan bagi dirinya. Manusia jadi terlalu menuntut dan kurang mau berusaha. Keadilan (kesederajatan) menghindarkan terbentuknya manusia-manusia yang sangat kompetitif dan menciptakan manusia yang akan selalu terlambat beradaptasi terhadap tantangan alam. Itulah pandangan hidup para penganut prinsip seleksi alam-nya Darwin. Dan kita tak bisa membuktikan pernyataan itu benar atau salah. Kita tak akan pernah dapat membuktikannya apalagi sekarang kita hidup dalam hegemoni pandangan hidup tersebut.

Katakanlah mengenai keadilan ekonomi, apakah mungkin dicari suatu makna keadilan umum seperti diinginkan Sokrates? sebuah keadilan bagi semua (menurut paham seleksi alam keadilan bagi the fittest) atau kita hanya bisa sampai pada sebuah keadilan yang bersifat parsial saja sebuah keadilan bagi kelompok tertentu? Jika kita hanya bisa sampai pada suatu makna keadilan yang parsial saja katakanlah makna keadilan untuk suatu kelompok saja maka kelompok tersebut haruslah kelompok yang paling mayoritas dalam masyarakat manusia.

Dasar dari keadilan itu haruslah bukan mistisme spritualitas tentang buruknya keserakahan atau ketamakan dsb. Akan tetapi, didasarkan oleh kebutuhan material yang nyata dari sebagian besar manusia. Sebuah pernyataan dari persepsi realita "Saya dan sebagian besar orang kekurangan sementara sebagian kecil yang lain hidup berkelimpahan, sistem ini harus dirubah karena merugikan kami secara ekonomi!". Kenapa pernyataan itu sangat sulit muncul dalam diri sebagian besar orang? Sedemikian dalamkah penindasan sehingga bersuara saja kita ragu? katakanlah persepsi mungkin tidak dapat dipercaya tapi apakah susah bersuara seperti Wiji Tukul, hanya ada satu kata: LAWAN! karena kita merasa dunia tidak berpihak pada kita

Marxisme memberikan dasar rasional untuk revolusi ini. Dasar Rasionalitas memberikan kenyamanan dalam bertindak yang bertentangan dengan hati nurani tertindas kita. Banyak dari kita yang merasa bahwa kesulitan yang mereka alami sebagai sesuatu yang wajar diterima. "Saya memang kurang pintar", "saya malas" , "saya kurang berusaha lebih keras" dsb. Dengan kata lain, mereka merestui penindasan atas dirinya. Silakan tindas saya! karena saya memang pantas untuk ditindas!

Jika kita mau mengamati sekeliling kita akan tahu bahwa ada sebuah kelompok mayoritas yang tertindas secara ekonomis sekaligus psikologis, dijalan-jalan kota kita akan menemukan kelompok seperti ini: orang-orang yang berjalan diterik matahari, menumpang kereta Jabotabek yang sesak, dalam angkutan umum tanpa AC, menghirup debu, timbal dan CO beracun dan pegawai-pegawai berpakaian rapi yang mengerjakan report sampai larut malam. Sebagian besar berada dalam keadaan ekonomi dan psikologi yang tidak menyenangkan. Sebuah kehidupan yang menyedihkan.

Sebagian dari mereka bisa bertahan oleh hidup yang seperti itu, kata-kata penghibur diri yang paling mujarab adalah: HIDUP MEMANG SEPERTI ITU BUKAN? sebagian yang tidak tahan mendekatkan diri dengan kekuasaan atau berlari ke hutan untuk sebuah perlawanan yang sia-sia. Atau menjadi penyamun dan bergabung dengan gerombolan Mafia.

Tentang sikap hidup asketis dan bersahaya yang dianjurkan oleh agama, menerima nasib, tidak ngoyo dsb. Aku jadi mencurigainya. Mungkin benar agama itu adalah candu, atau nurani dari dunia tanpa hati nurani. yang melelapkan kita dari ketertindasan kita. Membaca kutipan Becht diatas kita harusnya mulai meragukan segala sesuatu yang tidak berpihak pada kita! juga agama. Memang telah muncul semacam teologi pembebasan yang menekankan prinsip-prinsip emansipatoris dalam agama, terhadap sikap beragama yang seperti ini aku dapat menerimanya. Tapi apapun alasan dibalik segala hal, terserah itu rasional atau bahkan irrasional sekalipun asalkan membawa keadilan bagi diriku dan lebih-lebih sebagian besar orang aku akan menerimanya sebagai satu keyakinan.

Pertanyaan kita harusnya bukan lagi mengenai rasional tidaknya sebuah perubahan revolusioner akan tetapi bagaimana merasionalkan jalan revolusi.

Mar 17, 2005



Dari ruang sebelah yang kosong
Simfoni kitaro menyelinap dalam kehampaan
memasuki lorong hati
Lampu padam tepat jam satu tadi.
Semua yang bernama hidup lelap.
laron-laron yang bertebangan
pada lampu kristal sedari petang binasa sudah
hanya aku yang terjaga,

inikah kerinduan?
sedativa-hipnotika dosis tinggi
mengusik batang otak untuk terus terjaga

Diluar udara tawar
Malam selabil hatiku
saat dibisikannya
kata selamat tinggal pada bulan
:

'Kala siang datang kita akan sama-sama hilang'

Mar 14, 2005

Dalam sistem ekonomi berorientasi pasar tak ada pernah ada keberpihakan langsung pada rakyat.

Mar 10, 2005

Silakan Naikan BBM tapi Benahi dulu Korupsi!
(Kontemplasi 10/Maret/2005)

Polemik mengenai pro kontra kenaikan BBM yang terjadi belakangan ini membuatku berpikir untuk mengemukakan pandanganku sendiri tentang isyu tersebut. Pandanganku ini sebenarnya adalah sekumpulan gagasan, pengetahuan dan juga keyakinan yang membentuk kesadaranku tentang hal tersebut. Mungkin tidak tepat dan akurat, tapi inilah pandanganku.

Rasionalisasi Pemerintah
(dalam ilmu psikologi, Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan diri orang cerdas)

Semua orang tahu bahwa kenaikan BBM sebesar 29 % tentulah dalam jangka pendek akan meningkatkan biaya hidup masyarakat berupa dampak inflatoir menurunnya daya beli. Pertanyaannya adalah seberapa besar sebenarnya kemampuan untuk membeli (purchasing power) berkurang? Menurut kajian Dr. Umar Said dkk berkerjasama dengan ITS dan TAMF pada akhir 2001 (dengan metode KUT INDOCEEM) inflasi secara nasional akan meningkat sekitar 0,77 sampaidengan1,3 persen untuk kenaikan BBM sebesar 30% (Hasil yang hampir sama dengan perhitungan BI sebesar 1,4 persen).

Jumlah peningkatan inflasi yang sebesar ini tidaklah serta merta menurunkan kesejahteraan sebagian rakyat karena akan ada dana kompensasi untuk pendidikan, kesehatan, usaha kecil dsb. Bisa jadi malah kesejahteraan meningkat (?) karena pemerintah menjanjikan akan mengalokasikan Rp. 17,8 Trilyun dari Rp. 20,3 Trilyun dana yang didapat dari kebijakan pencabutan subsidi ini. Dana Kompensasi ini diberikan dengan 8 sasaran diantaranya beasiswa pendidikan, pelayanan kesehatan, beras murah, serta pembangunan infrastruktur di desa tertinggal.

Sebagaimana terlihat diatas, efek kenaikan harga sebenarnya tidaklah mengkhawatirkan, apalagi menurut hasil perhitungan komponen pengeluaran untuk BBM bagi rumah tangga tidak lebih dari 2,5% (angka persentase ini akan berkurang dengan semakin meningkatnya pendapatan). Demikian juga dengan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi hanya sekitar negatif 0,026 sampai dengan 0,027 persen.

Sekarang marilah kita lihat bagaimana jika subsidi BBM (meski dalam bentuk opportunity lost) tidak dicabut. Jika kebijakan tidak diambil pemerintah akan terus menerus membayar subsidi /kehilangan kesempatan untuk meraih pendapatan yang mencapai Rp. 200 milyar sehari. Dalam setahun Rp. 63 trilyun lebih (2004) dihabiskan untuk mensubsidi BBM. Akibatnya, tergerusnya anggaran negara untuk pembangunan jangka panjang yang sangat diperlukan. Tidak mungkin bukan sebuah negara lepas dari belenggu terbelakangan tanpa adanya upaya pembangunan yang terencana?

Memang banyak argumen yang mendukung pencabutan subsidi BBM, secara teori ekonomi misalnya kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan (teori Kaldor-Hicks pada kondisi Pareto optimal); tidak tepatnya sasaran subsidi dimana 84% subsidi BBM dinikmati oleh golongan menengah keatas; penyeludupan BBM akibat perbedaan harga; adanya kekhawatiran dengan pemakaian BBM pada tingkat sekarang kita akan menjadi net oil importer country sebelum tahun 2010 nanti (bahkan semenjak tahun 2001 sebesar 20% kebutuhan BBM kita sudah harus diimpor). Semuanya alasan ini logis dan dapat dibenarkan.

Realita Rakyat Jelata

Akan tetapi, dari sisi rakyat kebanyakan kenaikan BBM ini tidak dapat dimengerti, tanpa kenaikan BBM pun mereka telah teramat susah untuk bertahan hidup apalagi untuk berkembang. Tapi pemerintah melihatnya lain, kondisi keterbelakangan masyarakat ini tidak akan mungkin dapat diperbaiki tanpa tersediannya anggaran untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, usaha kecil, raskin dsb. Memang terdapat jurang perbedaan yang besar antara masyarakat yang harus sehari-hari bertahan dengan perut melilit dengan para pejabat yang dengan tenang merencanakan perbaikan masa depan rakyat.

Tentang realita rakyat jelata, aku jadi ingat pengalaman di Komunitas nelayan Teluk Jakarta. Sewaktu itu terjadi musim angin barat, angin barat ini sangat kencang tapi dimusim inilah nelayan bisa panen udang. Di musim ini ikan-ikan juga menjauh ke tengah. Saat itu terjadi kenaikan BBM oleh Pemerintahan Megawati. Nelayan yang menyambung nyawa sehari-hari langsung tidak lagi bisa melaut.

Pertama kali melihat banyak kapal merapat di bantaran kali aku pikir lebih karena faktor badai, tapi ternyata tidak. Alasan mereka semata-mata karena solar makin mahal dan jelas mereka tidak mempersiapkan rencana keuangan untuk mengantisipasi kenaikan tersebut. Dengan margin pendapatan kecil terhadap komponen biaya (bagian terbesar bahan bakar) melaut menjadi tidak lagi ekonomis bagi mereka. Apalagi untuk melaut lebih jauh ke tengah. Jadi kami memutuskan untuk menolak kebijakan kenaikan BBM. Slogannya waktu itu: "Solar naik nelayan tak melaut!"

Demo waktu itu cukup kreatif, mereka merencanakan sendiri dengan membawa peralatan menangkap ikan mereka: jaring, sarung, kupluk, dsb. Demo tersebut mendapat sorotan media massa. Dua hari kemudian Bp. Purnomo Yusgiantoro datang ke Muara Angke dan dengan cerdas ia mengajak mereka berdialog. Ia menjanjikan mendirikan tempat pengisian solar murah di kawasan tersebut khusus untuk nelayan. Janji tersebut memang direalisasikan.

Beberapa hari kemudian memang berdiri tempat pengisian solar, sangat dekat. Tapi tidak ada seorang nelayan pun yang mengisi solar disana. Meski dengan harga lebih murah karena mereka tetap belum punya uang untuk membeli solar. Kenyataan itu membuktikan bahwa seorang menteri yang cerdas pun bisa salah dalam menyalurkan bantuannya, salah dalam menilai kebutuhan masyarakat apalagi dengan aparat birokrasi ditingkat bawah yang kita tahu sendiri kualitasnya.

Akibatnya selama beberapa bulan nelayan tidak dapat melaut karena dampak dari kenaikan solar langsung berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selama beberapa bulan itu, sambil menunggu angin barat berakhir mereka hidup seadanya, makan bersama seadanya, adanya yang pulang kampung untuk menumpang hidup pada keluarganya.

Mungkin itulah sedikit gambaran mengenai dampak jangka pendek kenaikan BBM pada nelayan. Mereka bertahan hidup sehari-hari, tanpa perencanaan terhadap gejolak yang ditimbulkan penguasa. Kenaikan BBM lebih menakutkan dari badai!

Persoalannya menurutku adalah pada horizon waktu dan kesungguhan pemerintah, Dikatakan adanya persoalan horizon waktu adalah apakah dana kompensasi yang diberikan tersebut dapat langsung mencapai sasarannya pada waktu yang tepat dan sasaran yang tepat? Untuk pertanyaan ini aku meragukan kemampuan mesin birokrasi pemerintah. Mereka tidak memiliki sistem pendataan yang memadai dan tidak cukup memiliki pemahaman tentang perilaku konsumsi BBM sebagian besar rakyat. Ditambah lagi dengan sistem birokrasi yang berlapis dan personel yang lamban, masyarakat kalangan bawah paling tidak dalam jangka pendek akan semakin termajinalisasikan oleh kenaikan BBM ini seperti kasus nelayan di atas.

Persoalan kedua adalah mengenai kesungguhan pemerintah, pemerintah tahu akan ada kemungkinan salah sasaran pemberian kompensasi, mereka tahu akan adanya kemungkinan kebocoran dana. akan tetapi, kenapa tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki pendataan dan Birokrasi pemerintahan sebelum kebijakan pencabutan subsidi BBM diambil.

Setelah dipikir-pikir untuk aku kok jadi curiga dengan segala rasionalisasi pencabutan BBM dan dampak positifnya bagi rakyat. Jangan-jangan ini hanyalah sebuah proyek pencarian ladang baru. Dengan anggaran yang semakin cekak para pejabat masih bisa tetap hidup enak. Toh ada 17,8 Trilyun lagi sumber dana baru yang bisa dibagi-bagi. Bisa jadi sikap ini terlalu skeptis, tapi juga terlalu naif jika kita masih berharap dengan semua janji muluk pemerintah?

Tapi paling tidak inilah saat kita berkata: Silakan Naikan BBM tapi benahi dulu korupsi seperti janjimu dulu, jika tidak maka akan kami tolak.

Mar 5, 2005



Siapakah 'kan menanti yang takkan kembali?
(untuk mba' R yg mengasihi)

Matanya masih bersimbah duka,
getar suaranya tak juga hilang.
Ruang masih hampa dari bunyi.
meninggalkan kau sendiri mengasihi kekasihmu

Di langit ada yang berhenti memutar
jarum waktu. Bahkan sajak kelu.
terpukau padamu.

Pada satu titik.
kita akan terpesona pada cinta
Dan seperti sajak kita akan kehilangan kata-kata
indah penghibur diri

Mungkin memang ada yang kekal dan abadi,
bersembunyi tak ungkap diri
dikedalaman samudera hati

Akan ada saatnya ia datang
mengusir segala sepi

mendekapmu yang lelah dan hampa
menimang jiwa resahmu sampai terlelap
seperti bayi .

Seperti juga di bukit Golgota
seseorang pernah melihatnya datang.
melalui air mata seorang Maria
Saat tujuh luka menembus Isa
Kita tahu ada prahara sesudah itu

Siapakah kan menanti yang takkan kembali?

Kontemplasi 1

Be Focus!
(Kontemplasi 4 Maret 2005)

Pagi-pagi dapat kabar dari Erita bahwa BI masih menunggu hasil riset dari pemetaan anak jalanan di Jakarta Pusat. Menurutnya "He thinks that maybe some internal problems happened in LSAM". Senang mendengar bahwa ada kontak lagi dengan orang-orang IPPEBI , lebih senang lagi mendengar mereka berpikir positif terhadap keterlambatan yang kami alami. Terus terang selama 2 tahun ini, kegagalan proyek itu menjadi beban pikiranku, apalagi kami tidak menjalin kontak secara organisasi dengan mereka. Kadang memang sesuatu yang dimulai harus benar-benar dituntaskan, bagaimanapun hasilnya. Jika tidak kegagalan kita dalam mencapai sesuatu akan menjadi noda bagi kita dalam memandang diri sendiri.

Berpikir mengenai LSAM, aku bahkan tidak mengerti dimana sesungguhnya titik lemahnya sehingga dari sebuah organisasi yang bersemangat dan kuat menjadi hilang begitu saja. Sumber modal kuat, SDM baik, Networks kuat, dan Sistem organisasi rapi. Kadang aku pikir permasalahan kami adalah terlalu bersikap ambisius dan kehilangan fokus, program kerja terlalu luas dan jarang menghitung keterbatasan. Kami mendirikan beberapa Wisma yang dipenuhi oleh berbagai persoalan sehari-hari anak jalanan, melakukan penelitian, Advokasi kebijakan, mengikuti berbagai event, kegiatan belajar, kegiatan usaha kecil dsb.

Semua hal tersebut menyita sangat banyak energi, kadang kami baru bisa rapat jam 9 malam dan berakhir jam 3 dinihari. Semua hal tersebut tidak mungkin tidak mengganggu kehidupan pribadi masing-masing. Setelah beberapa tahun satu demi satu mulai menarik diri. Semua usaha keras jadi seakan sia-sia, tidak terjadi regenerasi organisasi selanjutnya. Dulu sempat ada harapan mahasiswanya Erita dapat melanjutkan organisasi tersebut tapi entahlah sekarang bagaimana ya Ta?

Berbicara tentang fokus jadi ingat kata-kata Dhoho bahwa kesulitan utama orang seperti kita adalah tidak bisa fokus dalam hal apapun. Setelah dipikir-pikir hal tersebut ada benarnya. Dalam dunia bisnis pun kata segmentasi telah keharusan di zaman ini. Dalam hal ini, entahlah karena pengaruh keilmuan aku selalu merasa bahwa ilmu bisnis adalah ilmu yang paling dekat dalam pemahamannya akan realita manusia. Entahlah hal apa yang menghambat kita untuk fokus? Mungkin semacam pikiran bahwa kita harus mampu mengerjakan segalanya, harus memahami segalanya, jika tidak seperti itu tidak berasa lengkap sebagai manusia bukan?

Tadi siang sempat diskusi melalui telepon dengan JS (salah seorang mentorku yang terpercaya hehehe...) mengenai format lembaga baru yang akan kami dirikan sekitar bulan Mei nanti. Dia mengingatkan bahwa "Jika program kerja yang kalian rencanakan terlalu meluas maka kalian tidak akan mencapai sasaran apapun". Aku rasa pandangannya ada benarnya, karena memang Lembaga Jakarta yang akan didirikan nanti akan bergerak di banyak kegiatan, seperti: Riset kebijakan publik pemerintah DKI, pemberdayaan ekonomi, advokasi publik, dan edukasi warga.

Ketakutan kami apabila memfokuskan diri pada bidang riset dan advokasi kebijakan adalah kami akan sama seperti organisasi lain yang hanya menghasilkan ribuan lembar kertas laporan riset tanpa punya kemampuan untuk mengadakan perubahan. Jelaslah bahwa kita membutuhkan banyak orang yang sadar untuk mendobrak kevakuman. Aku hanya mengerti dua cara bagi slave majority dalam mengusahakan perubahan yaitu: disadarkan secara ideologis dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomisnya. Melaksanakan program-program diatas secara simultan kemungkinan akan berhasil mencapai sasaran yang diharapkan. Tapi karena keterbatasan kami akan jadi mustahil untuk melaksanakan pekerjaan tersebut secara simultan maka pemilihan prioritas jadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Jika berpikir mengenai bagaimana memulai sebuah organisasi rakyat...aku kok jadi ingat kata-kata dr. Roy (seorang kawan yang dulu sama-sama mengorganisir nelayan di Angke) yang dikutipnya dari Semaun, menurutnya "yang terpenting dalam mengorganisir massa adalah bagaimana supaya mereka berkumpul dan beraktifitas bersama". Jika dipikir-pikir sarannya ada benarnya. Berarti kegiatan awal haruslah melaksanakan program-program kerja yang bersentuhan langsung dengan basis, kegiatan yang mampu melibatkan mereka dalam aktifitas bersama. Berarti harus mulai dari kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat! Kegiatan ini akan menggairahkan mereka untuk berkumpul dan beraktifitas bersama.

Aku sangat yakin mereka akan antusias untuk mengerjakan kegiatan seperti koperasi atau usaha kecil. Paling tidak itulah yang aku tangkap dari perbincangan dengan Dayat, Pak Mashudi, Pak Retno, Kiki dsb. Sekarang tinggal mengidentifikasi potensi-potensi usaha yang feasible. Hal yang perlu diingat adalah jangan sampai kehilangan fokus, terbelenggu dalam masalah yang bersifat ekonomis dengan segala tetek bengeknya. Perlu untuk terus fokus pada sasaran yang lebih besar!!! Yang perlu dipersiapkan adalah Rencana kerja jangka menengah untuk minimal 3-5 tahun ke depan.

Beberapa hal yang perlu dipikirkan dari sisi keterbatasannya adalah: Pertama, kurangnya SDM baik kuantitas maupun kualitas. Untuk mengatasi kekurangan ini, perlu diusahakan pengelolaan SDM secara benar berdasarkan prioritas kerja. Kedua, ketidaksamaan visi, hal ini sangat mungkin terjadi karena kami akan melibatkan orang-orang dengan background berbeda. Untuk mengatasi kekurangan kedua ini perlunya usaha yang terus menerus dalam membina komunikasi gagasan, disamping itu diupayakan adanya konsistensi dalam penyampaian gagasan. Ketiga, perbedaan motif/kepentingan. Perbedaan motif/kepentingan ini sangat mungkin terjadi karena melibatkan beberapa key person. Perbedaan motif dan kepentingan ini berpotensi besar menyebabkan disintegrasi dan sulitnya mensinergiskan program kerja bersama. Karena perbedaan motif dan kepentingan ini hampir tidak mungkin dikelola, maka perlu dipikirkan langkah-langkah antisipasi jika gejala itu mulai muncul kepermukaan dalam rangka menyelamatkan program yang sedang dijalankan.

Hal yang menyenangkan hari ini adalah adanya sikap yang supportif dari kawan-kawan terhadap kegiatan yang akan kami mulai, meski sebelumnya mereka khawatir akan banyak terakomodasinya kepentingan politik elitis di dalamnya. Terima kasih untuk kepercayaannya karena akan sangat sulit bagiku pribadi dalam mengerjakan sesuatu hal tanpa kepercayaan dari orang-orang yang aku segani

Berita buruknya, hari ini aku juga dapat kabar bahwa kak Budi sakit, sekarang dirawat oleh mbak Rosy, pacar dan juga rekan kerjanya. Dia mesti menjalani kontrol medik setiap hari, tadi udah melakukan 14 macam tes dan hasilnya belum diketahui. Sedih sekali ‘gak bisa ikut merawat saudara sendiri. Tapi waktu aku tanyakan kondisinya, katanya "gak apa-apa kok, setiap hari masih bisa masuk ngantor". Kata mbak Rosy suhu tubuhnya tinggi sampai 36,5 derajat, setiap makan muntah, mungkin ia mengalami sejenis penyakit typhus (?). Dari sebentar waktu kedekatan kami aku merasa ia terlalu keras dalam bekerja. Ia punya kebisaan tidur cuma 3 jam sehari. Meski sama-sama tinggal di Jakarta kadang kami hanya sempat bertemu setahun sekali. Aku rasa kami perlu lebih dekat, sebagai saudara...tapi entah kapan....

Mar 2, 2005

Datang dan Pergi

Datang dan Pergi
Tadi malam nginap di Pondok Ripi. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Ripi, dulu waktu aku kost di sana aku selalu ngerasa at Home. Sebagai sebuah kost-an aku selalu ngerasa ia punya jiwanya sendiri yang resah penuh pencarian. Tapi sekarang Ripi memang telah berubah, jika dulu di Ruang tengah banyak aktivis-aktivis LBHR yang mendiskusi kasus advokasi, anak-anak FAM UI yang rapat mempersiapkan agenda aksi di kamar sebelah, Anak-anak FMN yang asyik berdiskusi politik ekonomi Marxist di Oskar, mantan PRD yang berusaha membangun organisasinya kembali, kadang juga datang kawan-kawan dari buruh, nelayan dan petani. Semua berbicara politik secara bebas, sekarang mungkin kata politik menjadi sebuah kata yang paling sangat jarang di sebutkan di Ripi.
Mungkin juga Ripi telah ditinggalkan, aku sempat menghitung beberapa orang yang jarang berkunjung ke Ripi jumlahnya lumayan, sekitar 44 orang. Dan mereka semuanya aktivis dengan kategori A untuk kesadaran politik. Seandainya bisa bersatu bersama dengan jumlah sebanyak itu akan sangat banyak hal yang bisa dikerjakan. Memang terlalu naive untuk berpikir seperti itu. Semuanya punya keyakinan politik tertentu yang sangat kuat dan tegas.
Berbicara tentang yang pergi di Ripi juga ada yang datang. Tadi malam seorang kenalan lama datang berlibur dari Kampusnya di Jerman, ia mengambil jurusan Filsafat dan Sosiologi. ia mengambil 2 jurusan untuk masternya (tapi gak dihitung double degree). Ia lulus dari Filsafat UI beberapa tahun yang lalu, jadi untuk jurusan Filsafat di program S1-nya ia sudah dianggap menempuh setengah beban studi sehingga harus menempuh 1/2 bagian lagi untuk dianggap memenuhi syarat lulus setara S1 di Jerman. Baru kemudian ia mengambil beberapa mata kuliah untuk gelar master. Tapi di Jurusan Sosiologi ia harus berjuang keras memulai dari awal. Jurusannya sangat menarik, tapi sayangnya ia menjadi angkatan terakhir untuk jurusan tersebut.
Dapat informasi juga bahwa banyak negara bagian di Jerman yang mulai menggugat Undang-undang yang membebaskan biaya pendidikan di Jerman. Dalam beberapa kasus, negara bagian tersebut dimenangkan oleh pengadilan. Jadi ada kecenderungan akan dikenakan biaya pendidikan di Jerman. Organisasi Neo Nazi juga banyak yang memenangkan pemilihan-pemilihan lokal, tapi walaupun demikian ada usaha-usaha untuk menghalangi perkembanganya.
Berbicara tentang yang datang, di Ripi semua orang datang untuk meninggalkannya.

Feb 28, 2005

xxx



"I still find it hard to believe that it is impossible to prove i am real. I can only believe I am Real."

Feb 27, 2005

xxx

Pemerintah mungkin tidak sedang bekerja?
(Blogger = seorang jurnalis)

Aku baru saja tahu bahwa di Amerika para blogger memiliki kebebasan sebagai seorang jurnalis dalam menyampaikan pendapatnya. Di Indonesia mungkin tidak akan pernah ada kebebasan untuk menyampaikan pendapat, mungkin karena corak demokrasi kita harus selalu dibedakan dengan demokrasi barat dengan kata lain kita harus selalu menjunjung nilai ketimuran kita yang agung (?). Aku pikir budaya ketimuran kita hanya bermanfaat untuk tetap menjaga wibawa dan integritas para penguasa. Dua kualitas yang 'gak pernah mereka miliki. Aku sangat yakin, jika sekarang diadakan sebuah riset sekarang sejenis "topmind" dengan pertanyaan: sebutkan pejabat yang mempunyai integritas? maka kita akan gelagapan menjawabnya :) karena memang tidak ada bukan?

Setelah mengerjakan review beberapa Peraturan Daerah Jakarta dan RAPBD aku menemukan banyak sekali kejanggalan. Dalam RAPBD ditemukan penyimpangan untuk Jakarta saja lebih dari 1,3 Trilyun Rupiah. Penyimpangan itu sangat jelas dan terang karena pemerintah daerah menerapakan anggaran yang tidak sesuai dengan Repetada yang telah disepakati dengan DPRD. itu baru dari sisi pengeluaran, dalam pencapaian indikator kinerja terlihat tidak ada upaya yang sungguh-sungguh apalagi kreatif. Semua aktifitas hanya dijadikan proyek-proyekan belaka, untuk melakukan koordinasi = proyek, untuk melakukan sosialisasi = proyek, untuk pelatihan = proyek, untuk riset = proyek.

Lebih mengenaskan lagi hal itu terjadi di Jakarta, entahlah bagaimana di daerah lain dengan pengawasan yang lebih minim. makanya saat ada laporan kebocoran anggaran mencapai 320 Trilyun rupiah aku langsung berpikir bahwa laporan tersebut ada benarnya. Bayangkan 320 trilyun dalam 1 tahun! anggaplah dengan memberikan modal sebesar 80 juta/keluarga (misalnya dihitung 4 orang) untuk memperbaiki ekonominya. Dengan tingkat suku bunga 6% p.a maka akan ada 16 juta orang yang bisa lepas dari jeratan kemiskinannya. Dan itu bisa dilakukan hanya dalam setahun anggaran, tanpa harus menanggung resiko apapun!

Kenyataan di atas membuatku berpikir untuk apa ada pemerintah jika hanya makin menggendutkan perut orang-orang kaya? dan mempersulit orang-orang yang sudah susah? Tapi mungkin memang terlalu ekstrim menihilkan peran pemerintah. Entahlah apakah kita bisa berharap....

Feb 5, 2005

...

Setua waktu yang kau tinggalkan terbangkalai,
Kerinduan juga merapuh pada dinding-dinding
Kota yang berlumut,
Bukan seperti Saijah dan Adinda.
Menghitung hari pun jadi sia-sia
Tak ada yang menunggu dan tak ada juga
yang kan kembali

Jan 6, 2005

....


Kadang jika kita tak dapat mengutarakan sesuatu,
maka kita hanya dapat memandangnya lewat
meninggalkan kehidupan kita untuk selamanya.
itu pasti akan jadi sebuah penyesalan...