May 4, 2005

Ketakutan akan Relativisme?

Sungguh menarik membaca catatan pinggir Tempo 1 Mei, dalam kolumnya itu, GM menulis tentang ketakutan yang menyelimuti Vatikan setelah mangkatnya Sri Paus Yohanes Paulus II. Benecditus XVI,Paus yang baru, paling tidak mengirimkan sinyal ini dalam peringatannya: "Kita bergerak ke arah kediktatoran relativisme". Sebuah kecemasan akan tidak adanya suatu ukuran yang pasti yang menilai baik buruk sebuah perbuatan. Mungkin sebuah kecemasan bagi hilangnya legitimasi dari otoritas kebenaran, menurut cara pandang sinis.

Tapi marilah tidak bersifat sinis, relativisme paling tidak menerbitkan kecemasan juga pada hati yang bertanya. Bagaimanapun, hidup tanpa prinsip adalah peristiwa sehari-hari kita. Penyuapan dengan istilah dana taktis, uang damai saat ditilang, Mark up proyek, Make up laporan keuangan, bersenggama tanpa menikah, menyontek atau perbuatan apapun itu yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran prinsip yang kita terima. Kita jadi biasa meletakan segala penilaian dengan ukuran baik buruknya bagi diri kita sendiri. Toh, ini hidupku sendiri akulah yang punya otoritas satu-satunya untuk menentukan jalan hidup mana yang aku tempuh. Beginilah kita biasanya menjustifikasi segala perbuatan kita

Hidup jadi layaknya seperti sebuah jalanan panjang dengan banyak persimpangan. Tugas kita seringkali hanyalah memilih. Kemanapun arah yang akan tuju nanti kita tak tahu atau paling tidak tak mau tahu. Satu yang kita tahu adalah tak ada seorangpun yang tahu kemana jalan itu akan membawa kita. Tidak adanya pengetahuan akan tujuan akhir tidaklah dapat jadi alasan bagi kita untuk tidak melangkah bukan. "Hidup, ya jalani saja!" inilah nasehat yang paling sering kita dapat saat bercerita dengan seorang teman saat kita menghadapi problem moral yang sulit. Kita seperti orang gilanya Nietzche yang memberitakan kematian tuhan, dengan membawa obor, melangkah dalam kegelapan.

Tapi benarkah kita bisa sepenuhnya bebas? berpegang pada kebenaran kita sendiri? tentu saja ini sebuah pertanyaan filsafat lama yang kedengaran tolol. Toh prinsip umumkan terbangun dari akibat semakin tingginya intensitas interaksi sesama manusia sehingga manusia butuh adanya keadilan, kebebasan berusaha, kebebasan berpendapat dan sebagainya. Tentu dalam interaksi dengan sesama manusia lain dalam hubungan yang bersifat sosial, prinsip-prinsip umum haruslah ditegakkan. Bagiku pribadi tak ada relativisme hal untuk itu.

Akan tetapi, untuk hal yang bersifat personal dan pribadi katakanlah untuk kebebasan beragama, kebebasan bercinta, menuangkan gagasan pribadi dan segala hal yang kita tanggung akibatnya secara pribadi, aku beranggapan tidak ada prinsip umum yang harus dibangun untuk hal ini. Sebagai manusia pribadi kita relatif dengan segala keterbatasan kita. Hanya perlu meningkatkan pemahaman akan peran kita dalam dimensi sosialnya agar tahu apa yang benar apa yang tidak bagi sesama

Lalu apakah kecemasan tentang dominasi relativisme ini jadi beralasan?

May 3, 2005

Mayday...


Mayday tahun ini lewat begitu saja. Sebenarnya aku juga lupa. Diingatkan seorang kawan lewat SMS itupun sudah lewat tengah malam. Apa yang aku tahu tentang gerakan buruh sekarang? hampir tidak ada. Tak ada kontak dengan kawan-kawan buruh. Pernah memang mendengar ada pembentukan sebuah serikat di Bogor, sebuah format serikat buruh yang dulu sempat diancangkan bersama. Dimana bukan hanya buruh bergabung dalam satu pabrik tapi juga dalam satu kawasan industri tertentu. Tapi entah bagaimana perkembangannya. Sama sekali tak ada kabar.


Mungkin aku hanya dapat berkontemplasi tentang keadaan yang terjadi terutama di sektor industri garment (aku yakin belum berubah banyak), dimana aku pernah, paling tidak ada disana. Menjadi saksi sebuah perlawanan.


Seperti setiap zaman, seperti juga Pavel Vlassof dalam Novelnya Gorky, mungkin telah lahir beberapa buruh di daerah-daerah kantong industri yang sedikit punya keinginan melawan terhadap kesewenang-wenangan yang disadarinya dari para pengusaha. Ia mungkin akan berbicara dengan beberapa orang dekatnya, mengajak mereka melakukan sesuatu bagi perbaikan nasib bersama. Paling tidak pemenuhan hak-hak normatif mereka. Segala hak yang telah dijamin UU yang tak pernah mereka dapatkan. Seperti pemenuhan upah minimum, cuti haid dan jemputan bagi karyawan perempuan dsb.

Orang yang akan diajaknya berbicara akan dengan mengebu-gebu mengungkapkan kemarahan mereka, mengingat pengalaman mereka dari pabrik ke pabrik. Sebuah pengalaman dalam warna yang sama. Ketertindasan lama.


Akan tetapi, kemudian mereka akan terhenti karena tak tahu bagaimana harus melawan, bagaimana harus mengorganisir kekuatan dan mengumpulkan orang-orang. Ia akan berpikir adalah mustahil terjadi perbaikan nasib buruh. Kaumnya yang merana. Ingatannya akan melayang pada hasil dari setiap perjuangan yang diketahuinya. PHK, keluarga yang lalu kemudian menderita atau kembali ke desa entah sebagai apa? karena tanah keluarga sudah tak ada.


Barangkali ia seorang yang berani mengambil resiko. Makanya pada suatu siang ia akan menghadap atasannya dan mengajukan tuntutannya sendiri. Selanjutnya dihari-hari berikut ia akan dimutasi kebagian lain yang memang bukan keahliannya. melakukan beberapa kesalahan, gagal mencapai target produktifitas. Lusa kemudian personalia akan memanggilnya dan meminta pengunduran dirinya. seminggu kemudian ia akan meninggalkan pabrik.


Sekali lagi menjadi contoh bagi buruh lain bahwa sama sekali tidak ada kuasa dari para pekerja. Tidak ada daya. Itulah Gambaran sebuah perjuangan tanpa organisasi. Sebuah kesia-sian saja.

*


Barangkali ada sedikit kaum buruh yang beruntung, keakraban satu sama lain diantara mereka yang terbina lama telah membentuk sebuah solidaritas pribadi. Saat seorang kawan yang dikenal baik diperlakukan dengan sewena-wena mereka akan membelanya. Pada suatu pagi bersama-sama, mereka akan menghalangi jalan masuk ke pabrik, secara mendadak dan spontan memberikan resistensi terhadap pengusaha. Pengusaha memberikan ultimatum, esoknya beberapa buruh akan masuk lagi ke pabrik.


Sebagian kecil yang masih solider bertahan diluar pagar pabrik. Karena tak berdampak pada produksi, perusahaan mengacuhkan resistensi mereka. Mereka dibiarkan tanpa kejelasan, perusahaan menunggu sampai batas waktu mereka dinyatakan mangkir dan dikeluarkan tanpa pesangon.


Kasus diatas sebuah jenis resistensi yang sangat mudah dipatahkan, ada kasus lain dimana mereka telah membangun seperangkat panitia aksi yang akan solid (seringkali berupa ‘serikat buruh’) yang mengadakan pertemuan, membicarakan taktik perlawanan, memilih waktu yang tepat. Dalam banyak kasus saat perusahaan dibatasi oleh delivery time dari buyer, buruh yang bernegosasi akan dimenangkan. Sesaat situasi pabrik menjadi tempat yang harmonis dan sederajat. Serikat buruh terlibat dalam banyak kebijakan, kehidupan pabrik tersebut lebih baik dari pabrik yang lain yang ada disekitarnya.


Tapi ada semacam persoalan yang ditinggalkan dari keadaan seperti itu sebenarnya. pabrik tersebut jadi tidak kompetitif dimata para buyer yang memberikan orderan. Jika pabrik disebelah mampu mengerjakan dengan biaya yang lebih murah kenapa mesti memberikan pada pabrik dengan biaya tinggi? dalam beberapa bulan kemudian order jadi sepi dan perusahaan ditutup. Sebuah hasil perjuangan gemilang yang juga sia-sia. ternyata.

**


Kasus diatas hanya segelitir dari banyak jenis kasus yang terjadi, tapi paling tidak diperlukan sebuah perubahan paradigma yang diperlukan dalam perjuangan keserikat buruhan di dunia, atau paling tidak Indonesia. Perjuangan keserikatburuhan haruslah mampu melihat keterbatasan dari watak perjuangan tradeunionism. serikat buruh yang kuat saja tidaklah mencukupi.

Ada faktor lain yang penting yang harus diperhatikan yaitu faktor ekonomis dari produksi. Melihat kaum buruh sebagai sebuah komponen dari produksi yang vital, melihat diri sebagai sebuah angka bagi cost dan productivity yang dalam global economic adalah bersifat universal.

Implikasinya, buruh tidaklah dapat hanya mengidentikkan dirinya sebagai seorang buruh dari perusahaan X atau Y, yang hanya menimbulkan biaya dan meningkatkan produktifitas bagi PT X atau Y. Tapi melihat dirinya sebagai sebuah bagian dari komoditas dan barang yang berada dipasar, melihat bahwa dalam sebuah pasar persaingannya bebas dirinya adalah bagian dari produk yang saling bersaing tersebut. Karena sifat saling bersaing dalam pasar barang (demikian juga dalam pasar faktor produksi tenaga kerja) maka solidaritas mustahil dapat dibangun tanpa pemahaman yang benar akan watak dari sistem produksi kapitalisme. Tanpa pengetahuan tentang posisi mereka dalam sistem produksi ini.

Solidaritas buruh yang terbangun sama sekali bukan dengan parade-parade MAYDAY akan tetapi dalam pemahaman bersama posisi kelas dalam ekonomi dan praktek perjuangan kelas bersama sehari-hari. Mulailah dari satu kawasan menetapkan harga buruh dikawasan ini harus sekian, kesejahteraan minimal seperti ini harus terpenuhi.

Jika mengetahui bahwa ada kawan buruh dipabrik lain dibayar lebih murah maka harus dianggap sebagai ancaman bagi kesejahteraan bersama paling tidak di kawasan tersebut. Mulailah sama-sama solider, berjuang bukan untuk kepentingan yang muluk dan luhur akan tetapi untuk diri sendiri juga. Solidaritas kaum buruh terbangun bukan atas perasaan emosional semata tapi atas asas yang rasional terhadap pemahaman dari sistem produksi.