Mar 10, 2016

Refleksi satu dekade

Ketertarikan saya di dunia politik bukanlah dibentuk oleh suatu keinginan untuk mencari suatu posisi/jabatan tertentu, melainkan oleh kesadaran bahwa banyak hal yang mesti dirubah dalam sistem pengelolaan negara.  Kesadaran politik saya dilahirkan dari proses pembelajaran yang panjang, dalam diskusi-diskusi dan praktik pergerakan massa rakyat.

Era reformasi yang berlangsung selama hampir dua dekade perlahan mengikis apa yang dulunya dipercaya dan diperjuangkan. Dekade-dekade yang lewat melahirkan decadency moral dari sebagian besar orang yang dulu percaya dan berjuang. Entahlah dengan orang lain, saya sendiri mulai untuk mempercayai perlunya perubahan secara gradual. Banyak teman-teman yang mungkin memiliki kepercayaan yang sama masuk ke dalam partai-partai politik, menjadi bagian dari sebuah sistem yang dulunya ditentang.

Saya sendiri pada awalnya percaya dengan sistem politik yang ada dan menjadi bagian dari sistem itu. Selama kurang lebih satu dekade bergabung dengan partai politik meskipun tidak pernah berada dalam posisi penting dan menentukan, saya rasa telah cukup kiranya pengalaman bagi saya untuk dapat memberikan ulasan mengenai bagaimana sebuah partai politik itu bekerja.

Partai politik di Indonesia menurut saya tidak lebih dari sebuah ‘toko kelontong’, toko yang  menjual apa-apa yang diminati dan diinginkan oleh sebagian besar orang. Partai politik bukanlah pabrik bagi sebuah ide, gagasan, prinsip dan program kerja yang bermanfaat bagi orang banyak.  Dalam posisinya sebagai etalase, parpol hanya sebatas menyajikan apa yang dicari, apa yang menjadi ‘trending topic’, berharap orang-orang akan mengasosiasikan sebuah parpol dengan apa yang sedang dijualnya.

Fenomena majunya beberapa tokoh politik dengan integritas, kemampuan, dan disukai publik, seperti: Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Risma, Ganjar dan sebagainya, telah menunjukan bagaimana parpol berusaha dengan sedapat mungkin mengasosiasikan dirinya sedekat mungkin dengan tokoh-tokoh tersebut.  PDIP Perjuangan sepertinya sangat diuntungkan dengan fenomena tersebut, karena paling tidak beberapa tokoh yang disebutkan diatas merupakan kader partainya, namun harus diingat dari beberapa Kepala Daerah yang menonjol tersebut, mungkin hanya Ganjar Pranowo yang merupakan satu-satunya kader ideologis partai.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:  Apakah apa kebijakan yang mereka terapkan merupakan upaya menjalankan garis kebijakan partai  pengusung? Dari berapa kasus terlihat bahwa apa yang mereka lakukan kadangkala malah berlawanan dengan partai pengusungnya sendiri. Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Ahok, merupakan contoh yang paling jelas bagaimana hubungan antara parpol pendukung dengan tokoh politik yang diusungnya. Tidak dapat dikendalikan oleh Parpol pendukungnya malah memilih maju melalui jalur independen memperlihatkan adanya hubungan yang tidak sejalan dengan parpol pengusungnya. Kejadian ini juga memperlihatkan bagaimana partai pengusung tidak lebih hanya pengekor dari seorang tokoh fenomenal tersebut.

Selama bergabung dengan partai politik dan terlibat dalam formulasi kebijakan publik di lembaga legislatif daerah, saya tidak merasakan adanya garis partai yang kental yang dapat dijadikan pedoman dalam merumuskan kebijakan partai. Sebagai contoh sederhana bagaimana sikap partai terhadap keberadaan kampung-kampung kumuh di Jakarta? Kebijakan apa yang menjadi preferensi partai apakah slum-upgrading? Rusun? Penyediaan rumah murah? Sama sekali tidak ada sikap yang jelas. Hal ini menyebabkan parpol menjadi gagap dalam bersikap terhadap penggusuran, pembenahan kampung dan program-program penyediaan rumah masyarakat berpenghasilan rendah. 

Tidak adanya sikap dan pendirian yang jelas menjadikan parpol hanya sebagai followers dari berbagai perumusan kebijakan publik, dengan demikian juga parpol gagal menjalankan fungsinya sebagai sarana agregasi kepentingan. Dalam menjalankan fungsi lainnya, katakanlah sebagai sarana rekruitmen politik, parpol juga tidak melahirkan para pemimpin yang diharapkan, promosi dalam partai politik masih didasarkan pada kekuatan finansial, sehingga tidak aneh apabila orang yang berkarir di dunia politik merupakan orang-orang yang memiliki uang untuk menjalankan roda organisasi dan membiayai pemilihan.


Saya yang awalnya berpikir bahwa dunia politik adalah kontestansi ide-ide dan gagasan-gagasan terbaik sepertinya harus memikirkan kembali mengenai kiprah saya di dunia politik.  Pilihannya adalah meneruskan atau memutar arah...