Mar 17, 2005



Dari ruang sebelah yang kosong
Simfoni kitaro menyelinap dalam kehampaan
memasuki lorong hati
Lampu padam tepat jam satu tadi.
Semua yang bernama hidup lelap.
laron-laron yang bertebangan
pada lampu kristal sedari petang binasa sudah
hanya aku yang terjaga,

inikah kerinduan?
sedativa-hipnotika dosis tinggi
mengusik batang otak untuk terus terjaga

Diluar udara tawar
Malam selabil hatiku
saat dibisikannya
kata selamat tinggal pada bulan
:

'Kala siang datang kita akan sama-sama hilang'

Mar 14, 2005

Dalam sistem ekonomi berorientasi pasar tak ada pernah ada keberpihakan langsung pada rakyat.

Mar 10, 2005

Silakan Naikan BBM tapi Benahi dulu Korupsi!
(Kontemplasi 10/Maret/2005)

Polemik mengenai pro kontra kenaikan BBM yang terjadi belakangan ini membuatku berpikir untuk mengemukakan pandanganku sendiri tentang isyu tersebut. Pandanganku ini sebenarnya adalah sekumpulan gagasan, pengetahuan dan juga keyakinan yang membentuk kesadaranku tentang hal tersebut. Mungkin tidak tepat dan akurat, tapi inilah pandanganku.

Rasionalisasi Pemerintah
(dalam ilmu psikologi, Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan diri orang cerdas)

Semua orang tahu bahwa kenaikan BBM sebesar 29 % tentulah dalam jangka pendek akan meningkatkan biaya hidup masyarakat berupa dampak inflatoir menurunnya daya beli. Pertanyaannya adalah seberapa besar sebenarnya kemampuan untuk membeli (purchasing power) berkurang? Menurut kajian Dr. Umar Said dkk berkerjasama dengan ITS dan TAMF pada akhir 2001 (dengan metode KUT INDOCEEM) inflasi secara nasional akan meningkat sekitar 0,77 sampaidengan1,3 persen untuk kenaikan BBM sebesar 30% (Hasil yang hampir sama dengan perhitungan BI sebesar 1,4 persen).

Jumlah peningkatan inflasi yang sebesar ini tidaklah serta merta menurunkan kesejahteraan sebagian rakyat karena akan ada dana kompensasi untuk pendidikan, kesehatan, usaha kecil dsb. Bisa jadi malah kesejahteraan meningkat (?) karena pemerintah menjanjikan akan mengalokasikan Rp. 17,8 Trilyun dari Rp. 20,3 Trilyun dana yang didapat dari kebijakan pencabutan subsidi ini. Dana Kompensasi ini diberikan dengan 8 sasaran diantaranya beasiswa pendidikan, pelayanan kesehatan, beras murah, serta pembangunan infrastruktur di desa tertinggal.

Sebagaimana terlihat diatas, efek kenaikan harga sebenarnya tidaklah mengkhawatirkan, apalagi menurut hasil perhitungan komponen pengeluaran untuk BBM bagi rumah tangga tidak lebih dari 2,5% (angka persentase ini akan berkurang dengan semakin meningkatnya pendapatan). Demikian juga dengan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi hanya sekitar negatif 0,026 sampai dengan 0,027 persen.

Sekarang marilah kita lihat bagaimana jika subsidi BBM (meski dalam bentuk opportunity lost) tidak dicabut. Jika kebijakan tidak diambil pemerintah akan terus menerus membayar subsidi /kehilangan kesempatan untuk meraih pendapatan yang mencapai Rp. 200 milyar sehari. Dalam setahun Rp. 63 trilyun lebih (2004) dihabiskan untuk mensubsidi BBM. Akibatnya, tergerusnya anggaran negara untuk pembangunan jangka panjang yang sangat diperlukan. Tidak mungkin bukan sebuah negara lepas dari belenggu terbelakangan tanpa adanya upaya pembangunan yang terencana?

Memang banyak argumen yang mendukung pencabutan subsidi BBM, secara teori ekonomi misalnya kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan (teori Kaldor-Hicks pada kondisi Pareto optimal); tidak tepatnya sasaran subsidi dimana 84% subsidi BBM dinikmati oleh golongan menengah keatas; penyeludupan BBM akibat perbedaan harga; adanya kekhawatiran dengan pemakaian BBM pada tingkat sekarang kita akan menjadi net oil importer country sebelum tahun 2010 nanti (bahkan semenjak tahun 2001 sebesar 20% kebutuhan BBM kita sudah harus diimpor). Semuanya alasan ini logis dan dapat dibenarkan.

Realita Rakyat Jelata

Akan tetapi, dari sisi rakyat kebanyakan kenaikan BBM ini tidak dapat dimengerti, tanpa kenaikan BBM pun mereka telah teramat susah untuk bertahan hidup apalagi untuk berkembang. Tapi pemerintah melihatnya lain, kondisi keterbelakangan masyarakat ini tidak akan mungkin dapat diperbaiki tanpa tersediannya anggaran untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, usaha kecil, raskin dsb. Memang terdapat jurang perbedaan yang besar antara masyarakat yang harus sehari-hari bertahan dengan perut melilit dengan para pejabat yang dengan tenang merencanakan perbaikan masa depan rakyat.

Tentang realita rakyat jelata, aku jadi ingat pengalaman di Komunitas nelayan Teluk Jakarta. Sewaktu itu terjadi musim angin barat, angin barat ini sangat kencang tapi dimusim inilah nelayan bisa panen udang. Di musim ini ikan-ikan juga menjauh ke tengah. Saat itu terjadi kenaikan BBM oleh Pemerintahan Megawati. Nelayan yang menyambung nyawa sehari-hari langsung tidak lagi bisa melaut.

Pertama kali melihat banyak kapal merapat di bantaran kali aku pikir lebih karena faktor badai, tapi ternyata tidak. Alasan mereka semata-mata karena solar makin mahal dan jelas mereka tidak mempersiapkan rencana keuangan untuk mengantisipasi kenaikan tersebut. Dengan margin pendapatan kecil terhadap komponen biaya (bagian terbesar bahan bakar) melaut menjadi tidak lagi ekonomis bagi mereka. Apalagi untuk melaut lebih jauh ke tengah. Jadi kami memutuskan untuk menolak kebijakan kenaikan BBM. Slogannya waktu itu: "Solar naik nelayan tak melaut!"

Demo waktu itu cukup kreatif, mereka merencanakan sendiri dengan membawa peralatan menangkap ikan mereka: jaring, sarung, kupluk, dsb. Demo tersebut mendapat sorotan media massa. Dua hari kemudian Bp. Purnomo Yusgiantoro datang ke Muara Angke dan dengan cerdas ia mengajak mereka berdialog. Ia menjanjikan mendirikan tempat pengisian solar murah di kawasan tersebut khusus untuk nelayan. Janji tersebut memang direalisasikan.

Beberapa hari kemudian memang berdiri tempat pengisian solar, sangat dekat. Tapi tidak ada seorang nelayan pun yang mengisi solar disana. Meski dengan harga lebih murah karena mereka tetap belum punya uang untuk membeli solar. Kenyataan itu membuktikan bahwa seorang menteri yang cerdas pun bisa salah dalam menyalurkan bantuannya, salah dalam menilai kebutuhan masyarakat apalagi dengan aparat birokrasi ditingkat bawah yang kita tahu sendiri kualitasnya.

Akibatnya selama beberapa bulan nelayan tidak dapat melaut karena dampak dari kenaikan solar langsung berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selama beberapa bulan itu, sambil menunggu angin barat berakhir mereka hidup seadanya, makan bersama seadanya, adanya yang pulang kampung untuk menumpang hidup pada keluarganya.

Mungkin itulah sedikit gambaran mengenai dampak jangka pendek kenaikan BBM pada nelayan. Mereka bertahan hidup sehari-hari, tanpa perencanaan terhadap gejolak yang ditimbulkan penguasa. Kenaikan BBM lebih menakutkan dari badai!

Persoalannya menurutku adalah pada horizon waktu dan kesungguhan pemerintah, Dikatakan adanya persoalan horizon waktu adalah apakah dana kompensasi yang diberikan tersebut dapat langsung mencapai sasarannya pada waktu yang tepat dan sasaran yang tepat? Untuk pertanyaan ini aku meragukan kemampuan mesin birokrasi pemerintah. Mereka tidak memiliki sistem pendataan yang memadai dan tidak cukup memiliki pemahaman tentang perilaku konsumsi BBM sebagian besar rakyat. Ditambah lagi dengan sistem birokrasi yang berlapis dan personel yang lamban, masyarakat kalangan bawah paling tidak dalam jangka pendek akan semakin termajinalisasikan oleh kenaikan BBM ini seperti kasus nelayan di atas.

Persoalan kedua adalah mengenai kesungguhan pemerintah, pemerintah tahu akan ada kemungkinan salah sasaran pemberian kompensasi, mereka tahu akan adanya kemungkinan kebocoran dana. akan tetapi, kenapa tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki pendataan dan Birokrasi pemerintahan sebelum kebijakan pencabutan subsidi BBM diambil.

Setelah dipikir-pikir untuk aku kok jadi curiga dengan segala rasionalisasi pencabutan BBM dan dampak positifnya bagi rakyat. Jangan-jangan ini hanyalah sebuah proyek pencarian ladang baru. Dengan anggaran yang semakin cekak para pejabat masih bisa tetap hidup enak. Toh ada 17,8 Trilyun lagi sumber dana baru yang bisa dibagi-bagi. Bisa jadi sikap ini terlalu skeptis, tapi juga terlalu naif jika kita masih berharap dengan semua janji muluk pemerintah?

Tapi paling tidak inilah saat kita berkata: Silakan Naikan BBM tapi benahi dulu korupsi seperti janjimu dulu, jika tidak maka akan kami tolak.

Mar 5, 2005



Siapakah 'kan menanti yang takkan kembali?
(untuk mba' R yg mengasihi)

Matanya masih bersimbah duka,
getar suaranya tak juga hilang.
Ruang masih hampa dari bunyi.
meninggalkan kau sendiri mengasihi kekasihmu

Di langit ada yang berhenti memutar
jarum waktu. Bahkan sajak kelu.
terpukau padamu.

Pada satu titik.
kita akan terpesona pada cinta
Dan seperti sajak kita akan kehilangan kata-kata
indah penghibur diri

Mungkin memang ada yang kekal dan abadi,
bersembunyi tak ungkap diri
dikedalaman samudera hati

Akan ada saatnya ia datang
mengusir segala sepi

mendekapmu yang lelah dan hampa
menimang jiwa resahmu sampai terlelap
seperti bayi .

Seperti juga di bukit Golgota
seseorang pernah melihatnya datang.
melalui air mata seorang Maria
Saat tujuh luka menembus Isa
Kita tahu ada prahara sesudah itu

Siapakah kan menanti yang takkan kembali?

Kontemplasi 1

Be Focus!
(Kontemplasi 4 Maret 2005)

Pagi-pagi dapat kabar dari Erita bahwa BI masih menunggu hasil riset dari pemetaan anak jalanan di Jakarta Pusat. Menurutnya "He thinks that maybe some internal problems happened in LSAM". Senang mendengar bahwa ada kontak lagi dengan orang-orang IPPEBI , lebih senang lagi mendengar mereka berpikir positif terhadap keterlambatan yang kami alami. Terus terang selama 2 tahun ini, kegagalan proyek itu menjadi beban pikiranku, apalagi kami tidak menjalin kontak secara organisasi dengan mereka. Kadang memang sesuatu yang dimulai harus benar-benar dituntaskan, bagaimanapun hasilnya. Jika tidak kegagalan kita dalam mencapai sesuatu akan menjadi noda bagi kita dalam memandang diri sendiri.

Berpikir mengenai LSAM, aku bahkan tidak mengerti dimana sesungguhnya titik lemahnya sehingga dari sebuah organisasi yang bersemangat dan kuat menjadi hilang begitu saja. Sumber modal kuat, SDM baik, Networks kuat, dan Sistem organisasi rapi. Kadang aku pikir permasalahan kami adalah terlalu bersikap ambisius dan kehilangan fokus, program kerja terlalu luas dan jarang menghitung keterbatasan. Kami mendirikan beberapa Wisma yang dipenuhi oleh berbagai persoalan sehari-hari anak jalanan, melakukan penelitian, Advokasi kebijakan, mengikuti berbagai event, kegiatan belajar, kegiatan usaha kecil dsb.

Semua hal tersebut menyita sangat banyak energi, kadang kami baru bisa rapat jam 9 malam dan berakhir jam 3 dinihari. Semua hal tersebut tidak mungkin tidak mengganggu kehidupan pribadi masing-masing. Setelah beberapa tahun satu demi satu mulai menarik diri. Semua usaha keras jadi seakan sia-sia, tidak terjadi regenerasi organisasi selanjutnya. Dulu sempat ada harapan mahasiswanya Erita dapat melanjutkan organisasi tersebut tapi entahlah sekarang bagaimana ya Ta?

Berbicara tentang fokus jadi ingat kata-kata Dhoho bahwa kesulitan utama orang seperti kita adalah tidak bisa fokus dalam hal apapun. Setelah dipikir-pikir hal tersebut ada benarnya. Dalam dunia bisnis pun kata segmentasi telah keharusan di zaman ini. Dalam hal ini, entahlah karena pengaruh keilmuan aku selalu merasa bahwa ilmu bisnis adalah ilmu yang paling dekat dalam pemahamannya akan realita manusia. Entahlah hal apa yang menghambat kita untuk fokus? Mungkin semacam pikiran bahwa kita harus mampu mengerjakan segalanya, harus memahami segalanya, jika tidak seperti itu tidak berasa lengkap sebagai manusia bukan?

Tadi siang sempat diskusi melalui telepon dengan JS (salah seorang mentorku yang terpercaya hehehe...) mengenai format lembaga baru yang akan kami dirikan sekitar bulan Mei nanti. Dia mengingatkan bahwa "Jika program kerja yang kalian rencanakan terlalu meluas maka kalian tidak akan mencapai sasaran apapun". Aku rasa pandangannya ada benarnya, karena memang Lembaga Jakarta yang akan didirikan nanti akan bergerak di banyak kegiatan, seperti: Riset kebijakan publik pemerintah DKI, pemberdayaan ekonomi, advokasi publik, dan edukasi warga.

Ketakutan kami apabila memfokuskan diri pada bidang riset dan advokasi kebijakan adalah kami akan sama seperti organisasi lain yang hanya menghasilkan ribuan lembar kertas laporan riset tanpa punya kemampuan untuk mengadakan perubahan. Jelaslah bahwa kita membutuhkan banyak orang yang sadar untuk mendobrak kevakuman. Aku hanya mengerti dua cara bagi slave majority dalam mengusahakan perubahan yaitu: disadarkan secara ideologis dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomisnya. Melaksanakan program-program diatas secara simultan kemungkinan akan berhasil mencapai sasaran yang diharapkan. Tapi karena keterbatasan kami akan jadi mustahil untuk melaksanakan pekerjaan tersebut secara simultan maka pemilihan prioritas jadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Jika berpikir mengenai bagaimana memulai sebuah organisasi rakyat...aku kok jadi ingat kata-kata dr. Roy (seorang kawan yang dulu sama-sama mengorganisir nelayan di Angke) yang dikutipnya dari Semaun, menurutnya "yang terpenting dalam mengorganisir massa adalah bagaimana supaya mereka berkumpul dan beraktifitas bersama". Jika dipikir-pikir sarannya ada benarnya. Berarti kegiatan awal haruslah melaksanakan program-program kerja yang bersentuhan langsung dengan basis, kegiatan yang mampu melibatkan mereka dalam aktifitas bersama. Berarti harus mulai dari kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat! Kegiatan ini akan menggairahkan mereka untuk berkumpul dan beraktifitas bersama.

Aku sangat yakin mereka akan antusias untuk mengerjakan kegiatan seperti koperasi atau usaha kecil. Paling tidak itulah yang aku tangkap dari perbincangan dengan Dayat, Pak Mashudi, Pak Retno, Kiki dsb. Sekarang tinggal mengidentifikasi potensi-potensi usaha yang feasible. Hal yang perlu diingat adalah jangan sampai kehilangan fokus, terbelenggu dalam masalah yang bersifat ekonomis dengan segala tetek bengeknya. Perlu untuk terus fokus pada sasaran yang lebih besar!!! Yang perlu dipersiapkan adalah Rencana kerja jangka menengah untuk minimal 3-5 tahun ke depan.

Beberapa hal yang perlu dipikirkan dari sisi keterbatasannya adalah: Pertama, kurangnya SDM baik kuantitas maupun kualitas. Untuk mengatasi kekurangan ini, perlu diusahakan pengelolaan SDM secara benar berdasarkan prioritas kerja. Kedua, ketidaksamaan visi, hal ini sangat mungkin terjadi karena kami akan melibatkan orang-orang dengan background berbeda. Untuk mengatasi kekurangan kedua ini perlunya usaha yang terus menerus dalam membina komunikasi gagasan, disamping itu diupayakan adanya konsistensi dalam penyampaian gagasan. Ketiga, perbedaan motif/kepentingan. Perbedaan motif/kepentingan ini sangat mungkin terjadi karena melibatkan beberapa key person. Perbedaan motif dan kepentingan ini berpotensi besar menyebabkan disintegrasi dan sulitnya mensinergiskan program kerja bersama. Karena perbedaan motif dan kepentingan ini hampir tidak mungkin dikelola, maka perlu dipikirkan langkah-langkah antisipasi jika gejala itu mulai muncul kepermukaan dalam rangka menyelamatkan program yang sedang dijalankan.

Hal yang menyenangkan hari ini adalah adanya sikap yang supportif dari kawan-kawan terhadap kegiatan yang akan kami mulai, meski sebelumnya mereka khawatir akan banyak terakomodasinya kepentingan politik elitis di dalamnya. Terima kasih untuk kepercayaannya karena akan sangat sulit bagiku pribadi dalam mengerjakan sesuatu hal tanpa kepercayaan dari orang-orang yang aku segani

Berita buruknya, hari ini aku juga dapat kabar bahwa kak Budi sakit, sekarang dirawat oleh mbak Rosy, pacar dan juga rekan kerjanya. Dia mesti menjalani kontrol medik setiap hari, tadi udah melakukan 14 macam tes dan hasilnya belum diketahui. Sedih sekali ‘gak bisa ikut merawat saudara sendiri. Tapi waktu aku tanyakan kondisinya, katanya "gak apa-apa kok, setiap hari masih bisa masuk ngantor". Kata mbak Rosy suhu tubuhnya tinggi sampai 36,5 derajat, setiap makan muntah, mungkin ia mengalami sejenis penyakit typhus (?). Dari sebentar waktu kedekatan kami aku merasa ia terlalu keras dalam bekerja. Ia punya kebisaan tidur cuma 3 jam sehari. Meski sama-sama tinggal di Jakarta kadang kami hanya sempat bertemu setahun sekali. Aku rasa kami perlu lebih dekat, sebagai saudara...tapi entah kapan....

Mar 2, 2005

Datang dan Pergi

Datang dan Pergi
Tadi malam nginap di Pondok Ripi. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Ripi, dulu waktu aku kost di sana aku selalu ngerasa at Home. Sebagai sebuah kost-an aku selalu ngerasa ia punya jiwanya sendiri yang resah penuh pencarian. Tapi sekarang Ripi memang telah berubah, jika dulu di Ruang tengah banyak aktivis-aktivis LBHR yang mendiskusi kasus advokasi, anak-anak FAM UI yang rapat mempersiapkan agenda aksi di kamar sebelah, Anak-anak FMN yang asyik berdiskusi politik ekonomi Marxist di Oskar, mantan PRD yang berusaha membangun organisasinya kembali, kadang juga datang kawan-kawan dari buruh, nelayan dan petani. Semua berbicara politik secara bebas, sekarang mungkin kata politik menjadi sebuah kata yang paling sangat jarang di sebutkan di Ripi.
Mungkin juga Ripi telah ditinggalkan, aku sempat menghitung beberapa orang yang jarang berkunjung ke Ripi jumlahnya lumayan, sekitar 44 orang. Dan mereka semuanya aktivis dengan kategori A untuk kesadaran politik. Seandainya bisa bersatu bersama dengan jumlah sebanyak itu akan sangat banyak hal yang bisa dikerjakan. Memang terlalu naive untuk berpikir seperti itu. Semuanya punya keyakinan politik tertentu yang sangat kuat dan tegas.
Berbicara tentang yang pergi di Ripi juga ada yang datang. Tadi malam seorang kenalan lama datang berlibur dari Kampusnya di Jerman, ia mengambil jurusan Filsafat dan Sosiologi. ia mengambil 2 jurusan untuk masternya (tapi gak dihitung double degree). Ia lulus dari Filsafat UI beberapa tahun yang lalu, jadi untuk jurusan Filsafat di program S1-nya ia sudah dianggap menempuh setengah beban studi sehingga harus menempuh 1/2 bagian lagi untuk dianggap memenuhi syarat lulus setara S1 di Jerman. Baru kemudian ia mengambil beberapa mata kuliah untuk gelar master. Tapi di Jurusan Sosiologi ia harus berjuang keras memulai dari awal. Jurusannya sangat menarik, tapi sayangnya ia menjadi angkatan terakhir untuk jurusan tersebut.
Dapat informasi juga bahwa banyak negara bagian di Jerman yang mulai menggugat Undang-undang yang membebaskan biaya pendidikan di Jerman. Dalam beberapa kasus, negara bagian tersebut dimenangkan oleh pengadilan. Jadi ada kecenderungan akan dikenakan biaya pendidikan di Jerman. Organisasi Neo Nazi juga banyak yang memenangkan pemilihan-pemilihan lokal, tapi walaupun demikian ada usaha-usaha untuk menghalangi perkembanganya.
Berbicara tentang yang datang, di Ripi semua orang datang untuk meninggalkannya.