Oct 27, 2012

Jalan Berliku Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi selalu menarik minatku, birokrasi adalah kunci dari keberhasilan sebuah organisasi.  Sebaik apapun pemimpin akan gagal apabila ia tidak mampu menggerakan mesin birokrasi yang teramat besar dan berat/lembam.  Membaca wawancara Majalah Mingguan Tempo dengan Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Eko Prasojo, membuatku sedikit terhibur, paling tidak dia mengakui beberapa hal:  Penerimaan PNS sekarang tidak didasarkan kompetensi tapi oleh kemampuan membayar (berlaku juga dalam promosi jabatan); gaji yang rendah yang menyebabkan korupsi; inkompetensi pegawai; banyaknya pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan formasi birokrasi; penyebaran pegawai yang tidak merata secara kualitas dan kuantitas; tidak adanya target kerja pegawai dan besarnya peranan mafia dalam penempatan orang dalam birokrasi.  Hal yang lebih mencengangkan lagi, Birokrasi di Indonesia hanya digerakan oleh 20 persen saja dari pegawai.  Apabila Rasio Pegawai di Indonesia saat ini adalah 1,9 persen dari jumlah penduduk (lebih rendah dari Malaysia 2,4 % dan Singapura 2,9 %), maka sebenarnya Rasio  Pegawai terhadap jumlah penduduk tidak sampai 0,4 persen artinya 1 orang menangani 250 orang penduduk dalam berbagai urusan dan kebutuhan masing-masing, sungguh tidak masuk akal.  

Untuk mengatasi permasalahan di atas, ada beberapa solusi yang ditawarkannya seperti: penerapan passing grade dalam proses rekruitmen pegawai (tidak akan ada penerimaan jika tidak memenuhi standar yang ditetapkan); promosi yang dilakukan secara terbuka dan berlaku secara nasional (pegawai daerah bisa dipindahkan ke daerah lain sebagai konsekuensi penggajian yang ditarik ke pemerintah pusat); pensiun dini bagi pegawai yang kurang kompenten; penerapan remunerasi dan perbaikan sistem penggajian; pengangkatan pegawai dengan perjanjian kerja (pegawai yang direkrut untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu) dan sebagainya.  

Menurut saya, solusi yang ditawarkan secara sistem, sudah sangat baik dan mampu menjawab berbagai permasalahan dalam melakukan reformasi struktural birokrasi.  Tapi yang harus diingat: "sistem yang baik tidak selamanya menghasilkan keluaran yang juga baik".   Sebagai contoh di DKI Jakarta, Reformasi birokrasi telah dikumandangkan oleh Fauzi Bowo, diikuti dengan pemberian tunjangan kinerja daerah kepada setiap pegawai dan meniadakan segala bentuk honorarium yang didapat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh APBD, Struktur Birokrasi disederhanakan melalui Perda No. 10 Tahun 2008, setiap pegawai memberikan laporan kinerja kepada atasannya.  Tapi apakah birokrasi di DKI Jakarta dirasakan semakin membaik?  Sejujurnya, meskipun ada beberapa perbaikan tapi saya tidak melihat banyak hal yang berubah.  

Bagi saya perubahan budaya-lah yang pada akhirnya menentukan berhasil atau tidaknya sebuah reformasi birokrasi, sebaik apapun proses rekruitmen yang dilakukan, sebaik apapun personil yang berhasil didapatkan dari proses tersebut, pada akhirnya akan menjadi sia-sia saja karena ia masuk dalam sebuah organisasi kerja tanpa sebuah ruh atau semangat untuk melayani masyarakat dan melakukan perubahan.  Segala ide cemerlang dan terobosan-terobosan brilian akan terbentuk oleh sebuah tembok sistem feodalisme birokrasi yang sangat tua dan keras.  Perubahan budaya dalam birokrasi harus secara konsisten diperlihatkan oleh pemimpin, tidak hanya oleh pemimpin tertinggi tapi juga oleh setiap pemimpin dalam setiap tingkatannya.  


Berkaca pada fenomena di Jakarta belakangan ini, Jokowi saya amaati telah memperlihatkan tekad yang kuat untuk merubah kultur birokrasi, dia bisa mendadak datang ke Kelurahan/Kecamatan tanpa pemberitahuan lebih dahulu.  Para Lurah dan Camat harus selalu bersiap di tempat kerja. Tentu saja, kebiasaan ini melahirkan budaya baru, dan para pejabat tersebut harus datang tepat waktu ke tempat kerjanya. Pertanyaannya apakah lurah/camat dan pejabat-pejabat Pemerintah Daerah tersebut juga akan lebih sering turun ke masyarakatnya untuk memantau dan menyerap aspirasi masyarakat? atau mereka lebih diharapkan selalu berada di kantor untuk menanti kunjungan mendadak dari sang Gubernur dan melaksanakan pekerjaan rutin?  Peran seperti apa yang se-ideal-nya harus dilakukan oleh seorang lurah/camat/pejabat lain dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat? kewenangan seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh kelurahan/kecamatan sehingga dapat berperan optimal dalam melayani masyarakat? inisiatif seperti apa yang diharapkan dari mereka? bagaimana keaktifan mereka dapat dinilai dan mendapatkan kompensasi baik finansial maupun promosi jabatan?  

Terkadang gagasan dan ide-ide besar, hanya akan menjadi wacana yang menarik tapi tidak dapat membawakan hasil yang diharapkan, apabila hal-hal kecil tidak diperhatikan, "The Devil is in the Details" seperti diungkapkan oleh sebuah pribahasa.  Tentu saja untuk dapat merumuskan dan menjabarkan detail dari setiap pekerjaan yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi, pemimpin-pemimpin ditingkatkan terendah harus dilibatkan, untuk dapat melibatkan mereka secara aktif, visi dari perubahan birokrasi harus menjadi bagian dari diri mereka, sebagai tantangan yang mereka terima secara sukarela. Reformasi birokrasi telah dimulai, pasti menghadapi tantangan dan jalan berliku, pemimpin-pemimpin yang baik dalam setiap tingkatan harus terus dilahirkan untuk memberikan petunjuk dalam menempuh jalan yang gelap dan berliku...