Feb 23, 2016

Kegaduhan Sosial Media

Begitu banyak kegaduhan yang sedang berlangsung selama kurang lebih 1-2 tahun terakhir. Beberapa kegaduhan tersebut antara lain: Pro kontra pemimpin non islam; Aliran Wahabi; Ahmadiyah, Syiah, atau islam liberal; Pilihan subsidi atau non subsidi BBM; pilihan impor pangan atau tidak; dan yang terakhir kegaduhan mengenai isyu LGBT.  

Kegaduhan-kegaduhan yang syukurnya baru terjadi di sosial media saja (meskipun kadang terjadi konflik fisik secara terbatas).  Kenyataan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, yakni: Apakah kegaduhan ini sebuah fenomena yang wajar? Faktor apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah kegaduhan ini menunjukan bahwa golongan masyarakat di Indonesia telah menjadi terkotak-kotak dalam masing-masing kubu yang saling berhadapan?

Saya melihat kegaduhan yang terjadi sebuah fenomena yang wajar yang disebabkan oleh peningkatan secara masif dari pengguna internet di Indonesia. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), peningkatan jumlah pengguna internet dari tahun 1999-2015 meningkat dari 1 juta menjadi 139 juta. Sedangkan tingkat pendidikan penduduk tidak mengalami banyak perubahan, data dari BPS RI menunjukan komposisi jumlah penduduk yang bersekolah paling tinggi SMP/sederajat dari tahun 1999-2015 hanya mengalami penurunan dari 79,48 %  menjadi  67,36 % atau sebesar 12,12 %. Di samping itu, perkembangan infrastruktur ICT yang telah menyebar ke seluruh pelosok menyebabkan beragamnya pengguna internet.

Data gambaran data di atas dapat dibayangkan bahwa pengguna internet dari latar belakang sosial ekonomi, demografi dan spasial telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Apabila pada tahun 1999 yang lalu, seseorang yang berselancar di Internet hanya berinteraksi dengan orang lain dengan profil Sosial ekonomi yang relatif sama, yakni kalangan menengah – atas berpendidikan tinggi di perkotaan, sekarang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia harus berinteraksi dengan masyarakat yang sangat beragam, kelompok yang memiliki latar belakang yang sama sekali berbeda dengan dirinya. Suatu kalangan masyarakat yang terbiasa melihat sesuatu dengan paradigma tunggal.

Tentu saja penetrasi secara masif dari internet khususnya sosial media menciptakan berbagai hal positif misalnya terbukanya berbagai peluang ekonomi baru, meningkatkan akses pengetahuan dan informasi dan sebagainya.  Namun sebagaimana layaknya perubahan besar, tentu saja menimbulkan dampak-dampak negatif sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini. 

Ada banyak contoh penggunaaan sosial media yang tidak sehat misalnya: Seseorang  yang tidak terbiasa  melakukan check & Recheck informasi menyebarkan sebuah informasi yang tidak jelas validitasnya yang kemudian menimbulkan kegaduhan. Atau seseorang yang tidak mengerti ada larangan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan pada golongan lain, mem-posting kebencian dan permusuhannya melalui media sosial yang memunculkan kemarahan dari kelompok lain.  Kegaduhan-kegaduhan ini sangat potensial dalam menimbulkan friksi-friksi di masyarakat kita yang sangat plural ini.


Membatasi kebebasan berekspresi memang suatu hal sulit yang mungkin juga menimbulkan penolakan, tapi ada baiknya pemerintah memikirkan untuk mulai mengadakan pendidikan menggunakan internet yang sehat dan beretika pada anak-anak usia sekolah sehingga propaganda yang dilakukan orang-orang yang bertujuan memecah belah dapat ditangkal dan paling tidak diminimalisir.

No comments: