Apr 10, 2005

Asumsi 1: Jika tuhan tak ada maka tak ada alasan moral bagi keadilan
Asumsi 2: Jika tak ada alasan rasional bagi perubahan maka jika dibutuhkan jadikan rasional

"Apa yang tak asing, harus dianggap asing!
Apa yang biasa, harus dianggap tak bisa diterangkan!
Apa yang biasa harus kalian pertanyakan!
Apa yang aturannya, Harus Dianggap Penyelewengan!"
(Bertolt Brecht)

Selama berada di Depok beberapa hari ini selalu tidak bisa tidur kurang dari jam 4 pagi. Malam-malam penuh obrolan yang sama sekali 'gak berujung pangkal. Dimulai dari asumsi yang meragukan dan berujung pada kesimpulan yang juga meragukan. Empirisme Hume selalu mengganjal kita untuk bisa menyakini sesuatu bukan? Bagaimana kamu dapat membuktikan? itulah pertanyaannya. Dan bagaimana kita dapat membuktikan sesuatu jika kehidupan itu selalu dalam proses menjadi?

Bagaimana kita tahu misalnya bahwa keadilan itu memang diperlukan? Dalam jangka panjang mungkin saja keadilan akan menjadikan kita menjadi spesies yang lemah (?) karena manusia menjadi terbiasa berpikir ada orang yang peduli dan berkepentingan dengan keadilan bagi dirinya. Manusia jadi terlalu menuntut dan kurang mau berusaha. Keadilan (kesederajatan) menghindarkan terbentuknya manusia-manusia yang sangat kompetitif dan menciptakan manusia yang akan selalu terlambat beradaptasi terhadap tantangan alam. Itulah pandangan hidup para penganut prinsip seleksi alam-nya Darwin. Dan kita tak bisa membuktikan pernyataan itu benar atau salah. Kita tak akan pernah dapat membuktikannya apalagi sekarang kita hidup dalam hegemoni pandangan hidup tersebut.

Katakanlah mengenai keadilan ekonomi, apakah mungkin dicari suatu makna keadilan umum seperti diinginkan Sokrates? sebuah keadilan bagi semua (menurut paham seleksi alam keadilan bagi the fittest) atau kita hanya bisa sampai pada sebuah keadilan yang bersifat parsial saja sebuah keadilan bagi kelompok tertentu? Jika kita hanya bisa sampai pada suatu makna keadilan yang parsial saja katakanlah makna keadilan untuk suatu kelompok saja maka kelompok tersebut haruslah kelompok yang paling mayoritas dalam masyarakat manusia.

Dasar dari keadilan itu haruslah bukan mistisme spritualitas tentang buruknya keserakahan atau ketamakan dsb. Akan tetapi, didasarkan oleh kebutuhan material yang nyata dari sebagian besar manusia. Sebuah pernyataan dari persepsi realita "Saya dan sebagian besar orang kekurangan sementara sebagian kecil yang lain hidup berkelimpahan, sistem ini harus dirubah karena merugikan kami secara ekonomi!". Kenapa pernyataan itu sangat sulit muncul dalam diri sebagian besar orang? Sedemikian dalamkah penindasan sehingga bersuara saja kita ragu? katakanlah persepsi mungkin tidak dapat dipercaya tapi apakah susah bersuara seperti Wiji Tukul, hanya ada satu kata: LAWAN! karena kita merasa dunia tidak berpihak pada kita

Marxisme memberikan dasar rasional untuk revolusi ini. Dasar Rasionalitas memberikan kenyamanan dalam bertindak yang bertentangan dengan hati nurani tertindas kita. Banyak dari kita yang merasa bahwa kesulitan yang mereka alami sebagai sesuatu yang wajar diterima. "Saya memang kurang pintar", "saya malas" , "saya kurang berusaha lebih keras" dsb. Dengan kata lain, mereka merestui penindasan atas dirinya. Silakan tindas saya! karena saya memang pantas untuk ditindas!

Jika kita mau mengamati sekeliling kita akan tahu bahwa ada sebuah kelompok mayoritas yang tertindas secara ekonomis sekaligus psikologis, dijalan-jalan kota kita akan menemukan kelompok seperti ini: orang-orang yang berjalan diterik matahari, menumpang kereta Jabotabek yang sesak, dalam angkutan umum tanpa AC, menghirup debu, timbal dan CO beracun dan pegawai-pegawai berpakaian rapi yang mengerjakan report sampai larut malam. Sebagian besar berada dalam keadaan ekonomi dan psikologi yang tidak menyenangkan. Sebuah kehidupan yang menyedihkan.

Sebagian dari mereka bisa bertahan oleh hidup yang seperti itu, kata-kata penghibur diri yang paling mujarab adalah: HIDUP MEMANG SEPERTI ITU BUKAN? sebagian yang tidak tahan mendekatkan diri dengan kekuasaan atau berlari ke hutan untuk sebuah perlawanan yang sia-sia. Atau menjadi penyamun dan bergabung dengan gerombolan Mafia.

Tentang sikap hidup asketis dan bersahaya yang dianjurkan oleh agama, menerima nasib, tidak ngoyo dsb. Aku jadi mencurigainya. Mungkin benar agama itu adalah candu, atau nurani dari dunia tanpa hati nurani. yang melelapkan kita dari ketertindasan kita. Membaca kutipan Becht diatas kita harusnya mulai meragukan segala sesuatu yang tidak berpihak pada kita! juga agama. Memang telah muncul semacam teologi pembebasan yang menekankan prinsip-prinsip emansipatoris dalam agama, terhadap sikap beragama yang seperti ini aku dapat menerimanya. Tapi apapun alasan dibalik segala hal, terserah itu rasional atau bahkan irrasional sekalipun asalkan membawa keadilan bagi diriku dan lebih-lebih sebagian besar orang aku akan menerimanya sebagai satu keyakinan.

Pertanyaan kita harusnya bukan lagi mengenai rasional tidaknya sebuah perubahan revolusioner akan tetapi bagaimana merasionalkan jalan revolusi.

No comments: