Sep 13, 2016

Pilgub DKI 2017: Sebuah Pilihan Rasional

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta akan berlangsung kurang lebih 5 (lima) bulan lagi, tepatnya pada tanggal 15 Februari 2017 akan dilaksanakan pemungutan suara. Jauh berbeda dengan pemilihan sebelumnya, kampanye-kampanye bermuatan SARA begitu terasa mendominasi pemberitaan-pemberitaan.  Hal ini tidak lain karena majunya kembali Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai salah satu kandidat.

Posisi double minority yang ditempatinya dalam konteks sosial, telah mengakibatkan serangan politik berbasis SARA, menjadi tidak terelakkan lagi. Politik primordial dengan memproduksi sentimen-sentimen negatif terhadap lawan politik atas dasar SARA, dapat menimbulkan bias atau bahkan membutakan bagi sebagian orang, dalam melihat sosok yang akan dipilihnya.  

Pada sisi lain, serangan politik primordial tersebut dimanfaatkan untuk menguatkan soliditas para pendukungnya. Atas dasar politik primordial yang sama, mereka dapat memberikan dukungan tanpa syarat bagi sosok yang dianggap mewakili identitas mereka.  Hal ini tentu saja menimbulkan bias atau kebutaan yang serupa.

Politik primordialisme adalah sebuah masa lalu, sebuah lembar kelam sejarah yang seharusnya ditutup rapat. Seorang pemimpin publik haruslah dapat dinilai dan diuji secara objektif mengenai apa yang akan dilakukannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kota Jakarta.

Kota Jakarta memiliki permasalahan yang sangat kompleks, misalnya permasalahan "kemacetan", saat ini kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 65 Triliun per tahun, berbagai upaya untuk mengurangi para komuter menggunakan kendaraan pribadi tampaknya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Waktu untuk melakukan perjalanan (ke tempat kerja) selalu meningkat. Para cagub harusnya dapat menjelaskan terobosan apa yang akan dilakukannya untuk mengatasi permasalahan tersebut. 

Permasalahan lain yang juga penting adalah permasalahan penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kalangan MBR yang sebagian besar bekerja di sektor informal sulit untuk memiliki rumah krn terbatasnya akses mereka pada sumber pembiayaan. Upaya pemerintah dalam menyediakan Rusun sewa atau milik masih sangat terbatas dan terkendala permalahan ketersediaan lahan. Seorang Cagub harusnya memiliki solusi untuk menjawab permasalahan ini.

Dan begitu banyak permasalahan lain yang membutuhkan solusi dari seorang pemimpin.  Dengan menawarkan berbagai solusi atas permasalahan yang terjadi, publik dapat menilai siapakah yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan siapakah yang hanya bernafsu berkuasa tanpa memiliki visi yang jelas.  Dengan demikian, dalam memilih pemimpin, publik tidak dibiaskan atau dibutakan oleh politik-politik primordial yang dimainkan oleh sebagian orang yang tidak memiliki sesuatu gagasan baik untuk ditawarkan.

No comments: